Senin, 25 Oktober 2010
Orbitrupawan: Kado Pernikahan 1
Orbitrupawan: Kado Pernikahan 1: "Bab 1 Kupinang Engkau dengan Hamdalah Suatu saat, seorang akhwat bertanya kepada saya. Pertanyaannya sederhana, akan tetapi tidak mudah bagi..."
Kado Pernikahan 1
Bab 1
Kupinang Engkau
dengan Hamdalah
Suatu saat, seorang akhwat bertanya kepada saya. Pertanyaannya sederhana,
akan tetapi tidak mudah bagi saya untuk dengan tepat menjawabnya. Saat
itu akhwat kita ini mengajukan pertanyaan retoris, pertanyaan yang
seolah-olah tidak membutuhkan jawaban, akan tetapi sekarang saya bisa merasakan
bahwa ada hal yang diam-diam menjadi masalah. Saya bisa merasakan, ada sesuatu
yang sedang berlangsung namun tidak banyak terungkap karena berbagai sebab.
Ketika itu, akhwat tersebut mengajukan pertanyaan yang pada intinya adalah:
“Apa yang menghalangi ikhwan-ikhwan itu meminang seorang akhwat? Mengapa
ikhwan banyak yang egois, hanya memikirkan dirinya sendiri?”
“Sesungguhnya,” kata akhwat tersebut, “banyak akhwat yang siap.”
Akhwat itu bertanya bukan untuk dirinya. Telah beberapa bulan ia menikah.
Ketika mempertanyakan masalah itu kepada saya, ia didampingi suaminya. Ia
bertanya untuk mewakili “suara hati” (barangkali demikian) akhwat-akhwat lain yang
belum menikah. Sementara usia semakin bertambah, ada kegelisahan dan kadangkadang
kekhawatiran kalau mereka justru dinikahkan oleh orangtuanya dengan lakilaki
yang tidak baik agamanya.
Pertanyaan akhwat itu serupa dengan pertanyaan Rasulullah al-ma’shum. Beliau
yang mulia pernah bertanya, “Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk
mempersunting istri? Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang
memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”
Apa yang menghalangi kita untuk menikah? Kenapa kita merasa berat untuk
meminang seorang akhwat secara baik-baik dengan mendatangi keluarganya? Apa
yang menyebabkan sebagian dari kita merasa terhalang langkahnya untuk
mempersunting seorang gadis muslimah yang baik-baik sebagai istri, sementara
keinginan ke arah sana seringkali sudah terlontarkan. Sementara kekhawatiran jatuh
kepada maksiat sudah mulai menguat. Sementara ketika “maksiat-maksiat kecil” (atau
yang kita anggap kecil) sempat berlangsung, ada kecemasan kalau-kalau
keterlambatan menikah membuat kita jatuh kepada maksiat yang lebih besar.
Saya teringat kepada burdah, syair karya Al-Bushiri. Di dalamnya ada beberapa
bait sindiran mengenai saya dan Anda:
Siapakah itu
yang sanggup kendalikan hawa nafsu
seperti kuda liar
yang dikekang temali kuat?
Jangan kau berangan
dengan maksiat nafsu dikalahkan
maksiat itu makanan
yang bikin nafsu buas dan kejam
Sungguh, hampir saja kaki kita tergelincir kepada maksiat-maksiat besar kalau
Allah tidak menyelamatkan kita. Dan kita bisa benar-benar memasukinya
(na’udzubillahi min dzalik tsumma na’udzubillahi min dzalik) kalau kita tidak segera
meniatkan untuk menjaga kesucian kemaluan kita dengan menikah. Awalnya
menumbuhkan niat yang sungguh-sungguh untuk suatu saat menghalalkan pandangan
mata dengan akad nikah yang sah. Mudah-mudahan Allah menolong kita dan tidak
mematikan kita dalam keadaan masih membujang.
Rasulullah Muhammad Saw. pernah mengingatkan:
“Orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah
bujangan.”
Rasulullah Saw. juga mengingatkan bahwa, “Sebagian besar penghuni neraka
adalah orang-orang bujangan.”
Seorang laki-laki yang membujang harus menanggung beban syahwat yang
sangat berat. Apalagi pada masa seperti sekarang ini ketika hampir segala hal
memanfaatkan gejolak syahwat untuk mencapai keinginan. Perusahaan-perusaan obat
memanfaatkan gambar-gambar wanita untuk menarik pembeli. Perusahaan-perusaan
rokok juga memanfaatkan gadis-gadis muda yang seronok untuk mempromosikan rokoknya
di stasiun-stasiun dengan merelakan diri mengambilkan sebatang rokok
sekaligus menyalakan apinya ke laki-laki yang sedang lengah ataupun sengaja
“melengahkan” diri. Saya pernah menyaksikan kejadian semacam ini di stasiun Tugu,
Yogyakarta sekitar bulan Juli tahun 1996 yang lalu.
Tidak sekedar sampai di situ, acara-acara TV, radio bahkan artikel-artikel
kesehatan dan olahraga di koran dimanfaatkan untuk mengekspos rangsang
pornografis demi meningkatkan oplah. Kadang malah acara-acara keislaman yang
diselenggarakan organisasi keislaman, tanpa sadar tergelincir untuk untuk ikut
memanfaatkan hal-hal semacam ini lantaran ikut-ikutan dengan prosedur protokoler
di TV.
Maka, tak semua dapat menahan pikiran dan angan-angannya. Saya sering
mendengarkan “keluhan” teman laki-laki yang seusia dengan saya mengenai pikiranpikiran
dan angan-angan mereka tentang pernikahan atau mengenai harapannya
terhadap seorang gadis. Dorongan-dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup
yang khusus ini telah menyita konsentrasi. Daya serap terhadap ilmu tidak tajam.
Apalagi untuk shalat, sulit merasakan kekhusyukan. Ketika mengucapkan iyyaKa
na’budu wa iyyaKa nasta’in yang muncul bukan kesadaran mengenai kebesaran
Allah yang patut disembah, melainkan bayangan-bayangan kalau suatu saat telah
menikah. Malah, sebagian membayangkan pertemuan-pertemuan.
Shalat orang yang masih belum menikah memang sulit mencapai kekhusyukan,
apalagi memberi bekas dalam akhlak sehari-hari. Barangkali itu sebabnya Rasulullah
Muhammad Saw. menyatakan, “Shalat dua rakaat yang didirikan oleh orang yang
menikah lebih baik dari shalat malam dan berpuasa pada siang harinya yang
dilakukan oleh seorang lelaki bujangan.”
Maka, bagaimana seorang yang masih membujang dapat mengejar derajat orangorang
yang sudah menikah, kalau shalat malam yang disertai puasa di siang hari saja
tak bisa disejajarkan dengan derajat shalat dua rakaat mereka yang telah didampingi
istri. Padahal mereka yang telah mencapai ketenangan batin, penyejuk mata dan
ketenteraman jiwa dengan seorang istri yang sangat besar cintanya, bisa jadi
melakukan shalat sunnah yang jauh lebih banyak dibandingkan yang belum menikah.
Maka, apa yang bisa mengangkat seorang bujangan kepada kemuliaan di akhirat?
Alhasil, membujang rasanya lebih dekat dengan kehinaan, sekalipun jenggot
yang lebat telah membungkus kefasihan mengucapkan dalil-dalil suci Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah, “Orang meninggal di
antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah bujangan.” Bujangan. Tanpa
seorang pendamping yang dapat membantunya bertakwa kepada Allah, hati dapat
terombang-ambing oleh gharizah (instink) untuk memenuhi panggilan biologis, oleh
kerinduan untuk mempunyai sahabat khusus yang hanya kepadanya kita bisa
menceritakan sisi-sisi hati yang paling sakral, serta oleh panjangnya angan-angan
yang sulit sekali memangkasnya. Dalam keadaan demikian, agaknya sedikit sekali
yang sempat merasakan khusyuknya shalat dan tenangnya hati karena zikir. Dalam
keadaan demikian, kita bisa disibukkan oleh maksiat yang terus-menerus. Sesekali
dapat melepaskan diri dari maksiat memandang wanita ajnabi (bukan muhrim), tetapi
masuk kepada maksiat lainnya. Pikiran disibukkan oleh hal-hal yang kurang maslahat,
sedang mulut mengucapkan kalimat-kalimat yang memiriskan hati.
Di saat seperti ini, kita dapat merenungkan sekali lagi peringatan Rasulullah
Muhammad yang terjaga. Dalam sebuah hadis yang berasal dari Abu Dzar r.a.,
Rasulullah Saw. menegaskan:
“Orang yang paling buruk di antara kalian ialah yang melajang (membujang),
dan seburuk-buruk mayat (di antara) kalian ialah yang melajang (membujang).”
(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dari
Athiyyah bin Yasar. Hadis ini dha'if, begitu 'Abdul Hakim 'Abdats
menjelaskan).
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla melindungi kita dari kematian dalam keadaan
membujang, sementara niat yang sungguh-sungguh untuk segera melangsungkan
pernikahan, belum tumbuh. Semoga Allah Swt. menolong mereka yang telah
mempunyai niat. Kalau belum lurus niatnya, mudah-mudahan Allah mensucikan niat
dan prasangkanya. Kalau telah kuat tekadnya (‘azzam), semoga Allah menyegerakan
terlaksananya pernikahan yang barakah dan dipenuhi ridha-Nya. Kalau mereka masih
terhalang, mudah-mudahan Allah melapangkan dan kelak memberikan keturunan
yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah.
Saya teringat, terhadap hal-hal yang sangat dikecam dan diberikan peringatan
mengenai bahayanya, biasanya Islam memberikan penghormatan yang tinggi untuk
hal-hal yang merupakan kebalikannya. Kalau membujang sangat tidak disukai, kita
mendapati bahwa menikah mendekatkan manusia kepada surga-Nya. Ketika
dikabarkan kepada kita bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah bujangan, kita
banyak mendapati di dalam hadis tentang kemuliaan akhirat dan bahkan keindahan
hidup di dunia yang insya-Allah akan didapatkan melalui pernikahan. Seorang yang
menikah, berarti menyelamatkan setengah dari agamanya. Bahkan, bagi seorang
remaja, menikah berarti menyelamatkan dua pertiga dari agamanya.
Kita menjumpai hadis yang memberikan pertanyaan retoris sebagai sindiran,
“Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting istri? Mudahmudahan
Allah mengaruniainya keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan
kalimat laa ilaha illaLlah.” Maka kita juga menjumpai hadis-hadis yang
menjaminkan kepada kita yang ingin menikah demi menjaga kehormatan dan
kesucian farjinya.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga orang yang akan selalu
diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan
agama Allah Swt., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang
menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Thabrani)
Dalam hadis lain dalam derajat shahih, Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak
mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan
maksud memelihara kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR
Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim dan Daruquthni).
Masih ada hadis senada. Namun demikian, ada baiknya kalau kita alihkan
perhatian sejenak kepada peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah, “Bukan
termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya
karena menikah kemudian ia tidak menikah.” (HR Thabrani).
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang memiliki keyakinan. Tanpa
keyakinan, ilmu akan kosong maknanya.
Kupinang Engkau dengan Hamdalah
Banyak jalan yang mengantarkan orang kepada peminangan dan pernikahan.
Banyak sebab yang mendekatkan dua orang yang semula saling jauh menjadi suamiistri
yang penuh barakah dan diridhai Allah. Tapi sekarang bukan saatnya untuk
membicarakan masalah ini. Insya-Allah lain kali saya akan membicarakan dalam
buku tersendiri.
Sekarang, ketika niat sudah mantap dan tekad sudah bulat, marilah
mempersiapkan hati untuk melangkah ke peminangan.
Mendahului dengan Hamdalah
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kekuatan pada Anda menghadap
orangtua seorang wanita untuk melakukan peminangan. Setelah perkenalan dan
percakapan sejenak dengan keluarga akhwat yang akan dipinang, sekarang marilah
kita mendengarkan nasehat Imam Nawawi.
Orang yang meminang, kata Imam Nawawi dalam Al-Adzkaarun Nawawiyyah,
disunnahkan untuk memulai dengan membaca hamdalah dan shalawat untuk Rasul
Saw. Ustadz Abdul Hamid Kisyik dalam bukunya Bimbingan Islam untuk Mencapai
Keluarga Sakinah (Al-Bayan, 1995) mengingatkan kembali. Dianjurkan, kata Hamid
Kisyik, memulai lamaran dengan hamdalah dan pujian lainnya kepada Allah Swt.
serta shalawat kepada Rasul-Nya.
Pinanglah ia dengan mengucapkan, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Allahumma
shalli ‘aala Muhammad wa ‘alaa ali Muhammad.”
Kalau ingin menggunakan shalawat lain, silakan. Ada berbagai ucapan shalawat
yang dibenarkan oleh As-Sunnah. Ada shalawat yang panjang, meliputi Rasulullah,
istri-istri beliau serta keluarganya. Tetapi shalawat yang pendek juga tidak apa-apa.
Hanya saja, sebaiknya shalawat tidak dipenggal hanya sampai kepada Rasulullah saja.
Ucapkanlah shalawat minimal untuk Rasulullah beserta ‘aal beliau Saww. Semoga
yang demikian ini menjadikan peminangan Anda barakah.
Sesudah itu, ucapkan:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-
Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku datang
pada kalian untuk mengungkapkan keinginan kami melamar putri kalian --Fulanah
binti Fulan -- atau janda kalian --Fulanah binti Fulan."
Atau kalimat lain yang semakna.
Kami, kata Imam Nawawi selanjutnya, di dalam kitab Sunan Abu Daud, Sunan
Ibnu Majah, dan yang lainnya meriwayatkan melalui Abu Hurairah r. a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Setiap perkataan --menurut riwayat yang lain setiap perkara-- yang tidak
dimulai dengan bacaan hamdalah, maka hal itu sedikit barakahnya --menurut riwayat
yang lain terputus dari kebarakahannya.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam
Ahmad, hasan).
Pada sebuah kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Abu
Hurairah, kata Ustadz Abdul Hamid Kisyik, dari Abu Hurairah r.a., Nabi Saw.
bersabda, “Setiap lamaran yang tidak ada syahadat di dalamnya seperti tangan
yang tidak membawa berkah.”
Setelah pinangan kita sampaikan, biarlah pihak keluarga wanita dan wanita yang
bersangkutan untuk mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban dengan
segera, sebelum kaki bergeser dari tempat berpijaknya, sebab pernikahan
mendekatkan kepada keselaman akhirat, sedang calon yang datang sudah diketahui
akhlaknya. Sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi kepastian
apakah pinangan ditolak atau diterima, karena pernikahan bukanlah untuk
sehari dua hari saja.
Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang
lebih tahu keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Cukuplah Anda memegangi
husnuzhan Anda kepada mereka. Bukankah ketika Anda meminang seorang wanita
berarti Anda mempercayai wanita yang Anda harapkan beserta keluarganya?
Keputusan apa pun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah
yang lurus, adalah baik dan insya-Allah memberi akibat yang baik bagi Anda. Tidak
kecewa orang yang istikharah dan tidak merugi orang yang musyawarah. Maka, apa
pun hasil musyawarah sepanjang dilakukan dengan baik, akan membuahkan
kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk atau negatif, jika memang
didasarkan pada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena tidak memberi
kesempatan kepada Anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat Anda
memang untuk silaturrahmi, bukankah masih tersedia banyak peluang lain untuk itu?
Anda telah meminangnya dengan hamdalah. Anda telah dimampukan datang
oleh Allah yang Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semua yang lain
adalah kecil. Apalagi kita. Kita cuma manusia. Manusia adalah makhluk yang ke
mana pun mereka pergi, selalu membawa wadah kotoran yang busuk baunya.
Kita ini kecil. Anda juga kecil. Saya apalagi.
Lalu, apa alasan kita untuk merasa besar kalau tidak ada yang takabur kepada
kita? Apakah karena Anda merasa hanya mencari ridha Allah, padahal ketika memutuskan
pun mereka berniat mencari ridha Allah?
Ada pelajaran yang sangat berharga dari Bilal bin Rabah, muadzin kecintaan
Rasulullah Saw. tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap
Kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan:
“Saya ini Bilal, dan ini saudaraku. Kami datang untuk meminang. Dahulu kami
berada dalam kesesatan kemudian Allah memberi petunjuk. Dahulu kami budakbudak
belian, kemudian Allah memerdekakan...,” kata Bilal.
Kemudian ia melanjutkan, “Jika pinangan kami Anda terima, kami panjatkan
ucapan Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Dan kalau Anda menolak, maka kami
mengucapkan Allahu Akbar. Allah Maha Besar.”
Menurut pandangan Bilal, jika pinangan diterima, maka hanya Allah yang
berhak dan layak dipuji. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah Tuhan
seru sekalian alam. Pujian dalam segala bentuknya. Peminangan pun insya-Allah
merupakan sebentuk pujian kepada-Nya dengan menjaga kehormatan atas apa yang
dikaruniakan kepada kita. Adapun kalau pinangan ditolak, kita ingat bahwa yang
besar dan seharusnya besar di mata dan hati kita adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
Peminangan adalah salah satu bentuk ikhtiar untuk mengagungkan Allah. Kita
mengagungkan Allah dengan berusaha menghalalkan karunia kecintaan kepada lawan
jenis melalui ikatan pernikahan yang oleh Allah disebut mitsaqan-ghalizha
(perjanjian yang sangat berat).
Maka, kalau pinangan yang Anda sampaikan ditolak, agungkan Allah. Semoga
kita tetap berbaik sangka kepada Allah. Kita tetap berprasangka baik. Sebab, bisa jadi,
penolakan justru merupakan jalan pensucian jiwa dari kezaliman-kezaliman diri kita
sendiri. Boleh jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai kematangan,
kemantapan, dan kejernihan niat, mengingat bahwa ada banyak hal yang dapat
menyebabkan terkotorinya niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat Anda,
kecuali jika justru Anda merendahkan diri sendiri. Tapi kita juga perlu memeriksa
hati, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ‘ujub (kagum pada diri sendiri).
Penolakan bisa saja merupakan “metode Allah” untuk meluruskan niat dan
orientasi Anda.
Kekecewaan mungkin saja timbul. Barangkali ada yang merasa perih, barangkali
juga ada yang merasa kehilangan rasa percaya diri ketika itu. Dan ini merupakan
reaksi psikis yang wajar, sehingga saya juga tidak ingin mengatakan, “Tidak usah
kecewa. Anggap saja tidak ada apa-apa.”
Kecewa adalah perasaan yang manusiawi. Tetapi ia harus diperlakukan dengan
cara yang tepat agar ia tidak menggelincirkan kita ke jurang kenistaan yang sangat
jelas.
Rasulullah Saw. mengajarkan, “Ada tiga perkara yang tidak seorang pun dapat
terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan
jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka,
janganlah dinyatakan; dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat
dienyahkan; dan bila timbul di hatimu dengki, janganlah diperturutkan.”
Kekecewaan memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa.
Mereka berusaha membuang jauh-jauh sumber kekecewaan. Mereka berusaha
memendam dalam-dalam atau segera menutupi rapat-rapat dengan menjauh dari
sumber kekecewaan. Repress, istilah psikologinya. Sekilas tampak tak ada masalah,
tetapi setiap saat berada dalam kondisi rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi
dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian ini tidak dikehendaki Islam.
Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang pelan-pelan secara wajar,
sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan sehingga tidak
kehilangan obyektivitas dan kejernihan hati. Kalau kita bisa mengambil jarak, kita
tidak lingsem, tidak terjerembab dalam subjektivisme yang berlebihan. Kita menjadi
lebih tegar, meskipun untuk menghapus rasa kecewa dengan cara itu dibutuhkan
proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan cara me-repress-nya.
Kalau Anda ternyata mengalami rasa kecewa, periksalah niat-niat Anda. Di balik
yang Anda anggap baik, mungkin ada niat-niat yang tidak lurus. Periksalah motifmotif
yang melintas-lintas dalam batin Anda selama peminangan hingga saat-saat
menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati Anda berproses secara wajar sampai
menemukan kembali ketenangannya secara mantap.
Perahu telah berlayar. Ketika angin bertiup kencang, matikan mesin. Inilah
tawakkal, begitu seorang guru pernah menasehati “murid”-nya.
Tetapi, kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai dengan
harapan Anda, berbahagialah sejenak. Bersyukurlah. Insya-Allah kesendirian yang
Anda alami dengan menanggung rasa sepi, sebentar lagi akan berganti dengan canda
dan keramahan istri yang setia mendampingi. Wajahnya yang ramah dan teduh, insya-
Allah akan menghapus kepenatan Anda selama berada di luar rumah. Insya-Allah,
sebentar lagi.
Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi Anda untuk
melakukan apa saja yang menjadi hak Anda bersamanya. Setelah tiba masanya, halal
bagi Anda untuk merasakan kehangatan cintanya. Kehangatan cinta wanita yang telah
mempercayakan kesetiaannya kepada Anda. Setelah tiba masanya, halal bagi Anda
untuk menemukan pangkuannya ketika Anda risau.
Tetapi, tunggulah beberapa saat. Sebentar lagi. Selama menunggu, ada
kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan, Allah memberikan banyak
keindahan dan kemuliaan. Ada amanah apa di baliknya?
---
... jika sikap menawarkan diri
dilakukan dengan ketinggian sopan-santun,
tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat.
Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan mendalam
pasti akan meninggikan penghormatan
terhadap mujahadah saudaranya.
Tidak akan merendahkan
wanita yang menjaga kehormatannya seperti ini,
kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki kehormatan ....
---
Wanita Boleh Menawarkan Diri
Ada empat wanita yang mulia di surga, salah satunya adalah Khadijah bin
Khuwailid. Kelak dari rahimnya yang suci, lahir salah seorang wanita utama lainnya,
yaitu Fathimah az-Zahra. Keduanya adalah orang yang paling dicintai Rasulullah
Muhammad Saw. Yang pertama adalah istri beliau, sedang yang kedua adalah ummu
abiha (ibu yang melahirkan bapaknya). Begitu Rasulullah menjuluki.
Sangat besar rasa cinta Rasulullah kepada Khadijah. Sampai-sampai Aisyah, istri
Nabi yang paling dicintai di antara istri-istri lain sesudah Khadijah, merasa sangat
cemburu. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menceritakan bahwa Aisyah
mengatakan, “Tidak pernah aku merasa cemburu kepada seorang pun dari istri-istri
Rasulullah seperti kecemburuanku terhadap Khadijah. Padahal aku tidak pernah
melihatnya. Tetapi Rasulullah seringkali menyebut-nyebutnya. Jika ia memotong
seekor kambing, ia potong-potong dagingnya, dan mengirimkannya kepada sahabatsahabat
Khadijah.
Maka aku pun berkata kepadanya, ‘Sepertinya tidak ada wanita lain di dunia ini
selain Khadijah...!’
Maka berkatalah Rasulullah, ‘Ya, begitulah ia, dan darinyalah aku mendapat
anak.’“
Dalam suatu riwayat dikisahkan, suatu saat Aisyah merasa cemburu, lalu berkata,
“Bukankah ia hanya seorang wanita tua dan Allah telah memberi gantinya untukmu
yang lebih baik daripadanya? Maka beliau pun marah sampai berguncang rambut
depannya. Lalu beliau berkata, ‘Demi Allah! Ia tidak memberikan ganti untukku yang
lebih baik daripadanya. Khadijah telah beriman kepadaku ketika orang-orang
masih kufur, ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, ia memberikan
hartanya kepadaku ketika manusia yang lain tidak mau memberiku, dan Allah
memberikan kepadaku anak darinya dan tidak memberiku anak dari yang lain.’
Maka aku berkata dalam hati, “Demi Allah, aku tidak akan lagi menyebut
Khadijah dengan sesuatu yang buruk selama-lamanya.”
Pernikahan Khadijah dengan Rasulullah Saw. adalah yang paling indah dan
penuh barakah. Pernikahan yang seagung ini justru berawal dari inisiatif Khadijah. Ia
mengusulkan pernikahan kepada Muhammad Saw., menurut riwayat, dengan mahar
yang berasal dari hartanya.
Ia menolak menikah dengan raja-raja, para bangsawan, dan para hartawan yang
meminangnya, tetapi ia lebih menyukai Muhammad yang miskin dan yatim. Ia
mencari suami yang agung, kuat, berkepribadian tinggi, dan berjiwa bersih. Dan itu
ada pada Muhammad. Ia terkesan dengan Muhammad.
Ketika hatinya terpikat betul, ia meminta Maisarah yang menjadi pembantu
dekatnya untuk memperhatikan gerak-gerik dan tingkah-laku Muhammad dari dekat.
Laporan Maisarah kelak mendorong Khadijah menawarkan dirinya kepada beliau.
Khadijah mengungkapkan kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, aku senang
kepadamu karena kekerabatanmu dengan aku, kemuliaanmu dan pengaruhmu di
tengah-tengah kaummu, sifat amanahmu di mata mereka, kebagusan akhlakmu, dan
kejujuran bicaramu.”
Setelah melalui proses peminangan yang agung, Khadijah kemudian menikah
dengan Muhammad. Abu Thalib menyampaikan khotbah nikah mewakili pihak
pengantin laki-laki. Sedang pihak pengantin perempuan diwakili oleh Waraqah bin
Naufal dengan khotbah yang fasih dan memikat. Kelak, Allah mengaruniakan
keturunan, salah satunya wanita agung Fathimah Az-Zahra.
Menikah merupakan sunnah yang diagungkan oleh Allah. Al-Qur’an menyebut
pernikahan sebagai mitsaqan-ghalizha (perjanjian yang sangat berat). Mitsaqanghalizha
adalah nama dari perjanjian yang paling kuat dihadapan Allah. Hanya tiga
kali Al-Qur’an menyebut mitsaqan-ghalizha. Hanya untuk tiga perjanjian Allah
memberi nama mitsaqan-ghalizha. Dua perjanjian berkenaan dengan tauhid, yaitu
perjanjian Allah dengan Bani Israel yang untuk itu Allah mengangkat bukit Thursina
ketika mengambil sumpah. Sedang yang lain adalah perjanjian Allah dengan para
Nabi ulul-azmi, Nabi yang paling utama di antara para Nabi. Dan, pernikahan
termasuk perjanjian yang oleh Allah digolongkan sebagai mitsaqan-ghalizha. Allah
menjadi saksi ketika seseorang melakukan akad nikah. Wallahua’lam bishawab.
Setiap jalan menuju mitsaqan-ghalizha dimuliakan oleh Allah. Islam
memberikan penghormatan yang suci kepada niat dan ikhtiar untuk menikah. Nikah
adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan
biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan
dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kekuatan agamanya, dan
kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah adalah teladan pertama bagi
wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.
Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlak dan kesungguhan untuk
mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan
pahala-Nya. Yakinlah, Allah pasti akan mencatatnya sebagai kemuliaan dan
mujahadah (perjuangan) suci. Tidak peduli tawarannya itu diterima atau ditolak,
terutama kalau ia tidak memiliki seorang wali. Demikian saya mencatat dari buku
Memilih Jodoh dan Tatacara Meminang dalam Islam karya Husein Muhammad
Yusuf (GIP, Jakarta, 1995).
Insya-Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopansantun,
tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang
memiliki pengetahuan mendalam pasti akan meninggikan penghormatan terhadap
mujahadah saudaranya. Tidak akan merendahkan wanita yang menjaga
kehormatannya seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki
kehormatan kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.
Seorang laki-laki insya-Allah akan sangat hormat, setia, dan menaruh kasihsayang
mendalam jika ia menerima tawaran wanita shalihah untuk menikahi. Mudahmudahan
Allah menambahkan kemuliaan dalam keluarganya dan memberikan
keturunan yang meninggikan derajat orangtua di hadapan Allah. Kalau terhalang
untuk menerima tawaran, insya-Allah pada diri laki-laki akan tumbuh rasa hormat,
segan, dan respek terhadapnya.
Sungguh, saya sangat hormat kepada mereka yang berani bermujahadah. Kepada
mereka, saya ingin menyampaikan salam hormat saya. Semoga Allah memberi
pertolongan dan ridha-Nya kepada kita semua sampai kelak Allah mengumpulkan di
akhirat. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan mereka bersama
Khadijah di Al-Haudh. Allahumma amin. Ya Allah ini hamba-Mu memohon kepada-
Mu.
Saya ingin membahas masalah ini lebih lanjut, mengingat pentingnya masalah
ini. Sedang sikap seperti ini merupakan sikap terhormat yang dimuliakan. Tetapi
untuk lebih baik dan tuntasnya, insya-Allah akan saya tuliskan dalam buku tersendiri.
Saat ini cukuplah dengan melihat contoh-contoh lain yang tercatat dalam sejarah.
Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a. Ada seorang wanita yang
datang menawarkan diri kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah!
apakah Baginda membutuhkan daku?”
Putri Anas yang hadir dan mendengar perkataan wanita itu mencela sebagai
wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu, “Alangkah sedikit rasa malunya.
Sungguh memalukan, sungguh memalukan.”
Anas berkata kepada putrinya itu, “Dia lebih baik darimu. Dia senang kepada
Rasulullah Saw., lalu menawarkan dirinya untuk beliau!” (HR Bukhari).
Rabi’ah binti Ismail Asy-Syamiyah, istri Ahmad bin Abu Al-Huwari --murid
Abu Sulaiman Ad-Darani, seusai menunaikan shalat Isya’, berhias lengkap dengan
busananya. Setelah itu ia mendekati tempat tidur suaminya. Ia menawarkan kepada
suaminya, “Apakah malam ini engkau membutuhkan kehadiranku atau tidak?”
Jika suaminya berhasrat untuk menggaulinya, ia melayani sampai suaminya
mencapai kepuasan. Kalau malam itu suaminya sedang tidak berminat, maka ia
menukar pakaian yang dikenakan tadi dan berganti dengan pakaian lain yang biasa
digunakan untuk beribadah. Malam itu, ia tenggelam di tempat shalatnya hingga
subuh.
Rabi’ah adalah salah satu istri Ahmad bin Abu Al-Huwari. Suatu hari, ia
memasak makanan yang enak. Masakan itu diberi campuran aroma yang harum.
Setelah masak dan menyantap makanan itu, Rabi’ah berkata kepada suaminya,
“Pergilah ke istrimu yang lain dengan membawa tenaga baru.”
Sebelum menikah dengan Ahmad bin Abu Al-Huwari, Rabi’ah telah menikah
dengan seorang suami yang kaya. Sesudah kematian suaminya, ia memperoleh harta
waris yang sangat besar. Ia kesulitan menasharufkan (membelanjakan) hartanya demi
kepentingan Islam dan diberikan kepada orang yang membutuhkan. Ia melihat
Ahmad bin Abu Al-Huwari sebagai orang yang dapat menjalankan amanah.
Sementara itu, Rabi’ah sendiri seorang perempuan yang adil.
Maka, ia meminang Syekh Ahmad bin Abu Al-Huwari agar berkenan
memperistri dirinya. Ketika mendapatkan pinangan Rabi’ah, Syekh Ahmad berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin
berkonsentrasi dalam beribadah.”
Rabi’ah menjawab, “Syekh Ahmad, sesungguhnya konsentrasiku dalam
beribadah lebih tinggi daripada kamu. Aku sendiri sudah memutuskan keinginan
untuk tidak menikah. Tetapi tujuanku menikah kali ini tidak lain agar dapat
menasharufkan harta kekayaan yang kumiliki kepada saudara-saudara yang muslim,
dan untuk kepentingan Islam sendiri. Aku pun mengerti bahwa kamu adalah seorang
yang shalih. Tetapi, justru dengan begitu aku akan memperoleh keridhaan dari Allah
Swt.”
Ahmad bin Abu Al-Huwari tidak segera memberikan jawaban. Ia perlu
mengkonsultasikan dulu dengan Abu Sulaiman Ad-Darani, gurunya. Memperoleh
penjelasan dari Syekh Ahmad, Ad-Darani berkata, “Baiklah, kalau begitu nikahilah
dia. Karena perempuan itu adalah seorang wali”.
Bagi banyak wanita, mengajukan tawaran secara langsung barangkali sulit
dilakukan karena kendala-kendala psikis. Bisa juga untuk lebih menjaga kehormatan.
Jika menghadapi yang demikian, Anda bisa menyampaikan niat Anda melalui orang
lain yang dapat dipercaya (tsiqah), terutama orangtua jika masih ada.
Orangtua juga bisa mengambil inisiatif untuk menawarkan anak gadisnya kepada
laki-laki yang telah dikenal akhlaknya. Umar bin Khaththab r.a., ayah Hafshah,
adalah salah satu contoh.
Imam Bukhari meriwayatkan, Umar bin Khaththab berkata:
Saya datang kepada Utsman bin Affan, menawarkan Hafshah kepadanya. Lalu
Utsman berkata, “Nantilah, saya akan pikirkan dulu!”
Pada waktu itu istri Utsman bin Affan, Sayyidatina Ruqaiyyah binti Rasulullah
Saw. meninggal dunia ketika perang Badar berkobar. Dan Utsman diperintahkan oleh
Nabi untuk mengurus istrinya. Beberapa malam kemudian, Utsman berjumpa dengan
saya dan berkata, “Saya pikir, pada waktu ini saya belum berminat untuk kawin.”
Setelah itu, saya pergi menawarkan putriku kepada Abu Bakar, “Kalau kau mau,
saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah!” Abu Bakar diam dan tidak
menjawab tawaran saya. Saya sangat marah dan kurang senang dengan sikapnya yang
berbeda dengan Utsman, meski Ustman juga menolak anakku.
Beberapa malam kemudian, Hafshah dipinang oleh Rasulullah Saw. Beliau
sudah mengobati luka hati saya karena penolakan kedua sahabatku itu. Tiba-tiba Abu
Bakar datang dan menemuiku sambil berkata, “Mungkin kau marah dan kurang
senang kepada saya. Ketika kau menawarkan Hafshah, saya diam dan tidak menjawab
sepatah pun!”
Saya jawab, “Ya, benar.”
Lalu Abu Bakar melanjutkan, “Sebenarnya saya ingin sekali menerima
tawaranmu itu. Tetapi sebelum engkau menawarkan Hafshah kepadaku, aku sudah
mendengar Nabi Saw. menyebut-nyebut untuk meminangnya. Dan aku tidak mau
membuka rahasia beliau kepadamu. Namun, jika beliau tidak jadi menikahinya, tentu
akan saya terima tawaranmu itu dengan senang hati.” (Shahih Bukhari).
Kita tinggalkan dulu kisah pernikahan Ummul Mukminin Hafshah r.a. dengan
manusia utama, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa `alihi wasallam.
Insya-Allah kita bisa melanjutkan lagi dengan kisah-kisah lain yang kemudian
melahirkan keturunan pilihan. Misal, pernikahan orangtua ‘Abdullah bin Mubarok. Ia
sangat terkenal di kalangan para ulama, shalihin, ahli zuhud dan para ilmuwan. Ia
lahir dari pernikahan anak gadis Nuh bin Maryam dengan Mubarok, budaknya yang
jujur.
Kita bisa melanjutkan ke kisah-kisah lainnya. Tetapi saya kira, Anda bisa
menemukan sendiri kisah-kisah demikian di berbagai buku. Sekarang, marilah kita
tutup bab ini dengan memohon kepada Allah mudah-mudah kita tidak dimatikan
oleh-Nya dalam keadaan membujang. Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlak
kita yang masih penuh maksiat ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita
keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah.
Sesudahnya, bagi para orangtua maupun akhwat yang sedang menghadapi
pinangan (atau, sedang bersiap menghadapi pinangan), mari kita lanjutkan
pembicaraan ke bab dua Mempertimbangkan Pinangan.
Sedang bagi ikhwan yang telah memiliki hasrat, atau sempat jatuh hati, jika telah
memenuhi syaratnya silakan mendatangi orangtuanya secara resmi. Menikah secara
resmi. Menantikan saatnya tiba yang kadang prosesnya tak mudah, tetapi sering juga
sangat sederhana. Di sinilah indahnya mujahadah. Semoga Allah menjadikan
pendamping kita termasuk wanita shalihah yang penuh barakah, dan darinya lahir
keturunan yang hukma-shabiyya rabbi radhiya (memiliki kearifan semenjak kecil dan
diridhai Allah).
Allahumma amin. Ya Allah, kabulkanlah do’a kami.
Kupinang Engkau
dengan Hamdalah
Suatu saat, seorang akhwat bertanya kepada saya. Pertanyaannya sederhana,
akan tetapi tidak mudah bagi saya untuk dengan tepat menjawabnya. Saat
itu akhwat kita ini mengajukan pertanyaan retoris, pertanyaan yang
seolah-olah tidak membutuhkan jawaban, akan tetapi sekarang saya bisa merasakan
bahwa ada hal yang diam-diam menjadi masalah. Saya bisa merasakan, ada sesuatu
yang sedang berlangsung namun tidak banyak terungkap karena berbagai sebab.
Ketika itu, akhwat tersebut mengajukan pertanyaan yang pada intinya adalah:
“Apa yang menghalangi ikhwan-ikhwan itu meminang seorang akhwat? Mengapa
ikhwan banyak yang egois, hanya memikirkan dirinya sendiri?”
“Sesungguhnya,” kata akhwat tersebut, “banyak akhwat yang siap.”
Akhwat itu bertanya bukan untuk dirinya. Telah beberapa bulan ia menikah.
Ketika mempertanyakan masalah itu kepada saya, ia didampingi suaminya. Ia
bertanya untuk mewakili “suara hati” (barangkali demikian) akhwat-akhwat lain yang
belum menikah. Sementara usia semakin bertambah, ada kegelisahan dan kadangkadang
kekhawatiran kalau mereka justru dinikahkan oleh orangtuanya dengan lakilaki
yang tidak baik agamanya.
Pertanyaan akhwat itu serupa dengan pertanyaan Rasulullah al-ma’shum. Beliau
yang mulia pernah bertanya, “Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk
mempersunting istri? Mudah-mudahan Allah mengaruniainya keturunan yang
memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”
Apa yang menghalangi kita untuk menikah? Kenapa kita merasa berat untuk
meminang seorang akhwat secara baik-baik dengan mendatangi keluarganya? Apa
yang menyebabkan sebagian dari kita merasa terhalang langkahnya untuk
mempersunting seorang gadis muslimah yang baik-baik sebagai istri, sementara
keinginan ke arah sana seringkali sudah terlontarkan. Sementara kekhawatiran jatuh
kepada maksiat sudah mulai menguat. Sementara ketika “maksiat-maksiat kecil” (atau
yang kita anggap kecil) sempat berlangsung, ada kecemasan kalau-kalau
keterlambatan menikah membuat kita jatuh kepada maksiat yang lebih besar.
Saya teringat kepada burdah, syair karya Al-Bushiri. Di dalamnya ada beberapa
bait sindiran mengenai saya dan Anda:
Siapakah itu
yang sanggup kendalikan hawa nafsu
seperti kuda liar
yang dikekang temali kuat?
Jangan kau berangan
dengan maksiat nafsu dikalahkan
maksiat itu makanan
yang bikin nafsu buas dan kejam
Sungguh, hampir saja kaki kita tergelincir kepada maksiat-maksiat besar kalau
Allah tidak menyelamatkan kita. Dan kita bisa benar-benar memasukinya
(na’udzubillahi min dzalik tsumma na’udzubillahi min dzalik) kalau kita tidak segera
meniatkan untuk menjaga kesucian kemaluan kita dengan menikah. Awalnya
menumbuhkan niat yang sungguh-sungguh untuk suatu saat menghalalkan pandangan
mata dengan akad nikah yang sah. Mudah-mudahan Allah menolong kita dan tidak
mematikan kita dalam keadaan masih membujang.
Rasulullah Muhammad Saw. pernah mengingatkan:
“Orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah
bujangan.”
Rasulullah Saw. juga mengingatkan bahwa, “Sebagian besar penghuni neraka
adalah orang-orang bujangan.”
Seorang laki-laki yang membujang harus menanggung beban syahwat yang
sangat berat. Apalagi pada masa seperti sekarang ini ketika hampir segala hal
memanfaatkan gejolak syahwat untuk mencapai keinginan. Perusahaan-perusaan obat
memanfaatkan gambar-gambar wanita untuk menarik pembeli. Perusahaan-perusaan
rokok juga memanfaatkan gadis-gadis muda yang seronok untuk mempromosikan rokoknya
di stasiun-stasiun dengan merelakan diri mengambilkan sebatang rokok
sekaligus menyalakan apinya ke laki-laki yang sedang lengah ataupun sengaja
“melengahkan” diri. Saya pernah menyaksikan kejadian semacam ini di stasiun Tugu,
Yogyakarta sekitar bulan Juli tahun 1996 yang lalu.
Tidak sekedar sampai di situ, acara-acara TV, radio bahkan artikel-artikel
kesehatan dan olahraga di koran dimanfaatkan untuk mengekspos rangsang
pornografis demi meningkatkan oplah. Kadang malah acara-acara keislaman yang
diselenggarakan organisasi keislaman, tanpa sadar tergelincir untuk untuk ikut
memanfaatkan hal-hal semacam ini lantaran ikut-ikutan dengan prosedur protokoler
di TV.
Maka, tak semua dapat menahan pikiran dan angan-angannya. Saya sering
mendengarkan “keluhan” teman laki-laki yang seusia dengan saya mengenai pikiranpikiran
dan angan-angan mereka tentang pernikahan atau mengenai harapannya
terhadap seorang gadis. Dorongan-dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup
yang khusus ini telah menyita konsentrasi. Daya serap terhadap ilmu tidak tajam.
Apalagi untuk shalat, sulit merasakan kekhusyukan. Ketika mengucapkan iyyaKa
na’budu wa iyyaKa nasta’in yang muncul bukan kesadaran mengenai kebesaran
Allah yang patut disembah, melainkan bayangan-bayangan kalau suatu saat telah
menikah. Malah, sebagian membayangkan pertemuan-pertemuan.
Shalat orang yang masih belum menikah memang sulit mencapai kekhusyukan,
apalagi memberi bekas dalam akhlak sehari-hari. Barangkali itu sebabnya Rasulullah
Muhammad Saw. menyatakan, “Shalat dua rakaat yang didirikan oleh orang yang
menikah lebih baik dari shalat malam dan berpuasa pada siang harinya yang
dilakukan oleh seorang lelaki bujangan.”
Maka, bagaimana seorang yang masih membujang dapat mengejar derajat orangorang
yang sudah menikah, kalau shalat malam yang disertai puasa di siang hari saja
tak bisa disejajarkan dengan derajat shalat dua rakaat mereka yang telah didampingi
istri. Padahal mereka yang telah mencapai ketenangan batin, penyejuk mata dan
ketenteraman jiwa dengan seorang istri yang sangat besar cintanya, bisa jadi
melakukan shalat sunnah yang jauh lebih banyak dibandingkan yang belum menikah.
Maka, apa yang bisa mengangkat seorang bujangan kepada kemuliaan di akhirat?
Alhasil, membujang rasanya lebih dekat dengan kehinaan, sekalipun jenggot
yang lebat telah membungkus kefasihan mengucapkan dalil-dalil suci Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah, “Orang meninggal di
antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah bujangan.” Bujangan. Tanpa
seorang pendamping yang dapat membantunya bertakwa kepada Allah, hati dapat
terombang-ambing oleh gharizah (instink) untuk memenuhi panggilan biologis, oleh
kerinduan untuk mempunyai sahabat khusus yang hanya kepadanya kita bisa
menceritakan sisi-sisi hati yang paling sakral, serta oleh panjangnya angan-angan
yang sulit sekali memangkasnya. Dalam keadaan demikian, agaknya sedikit sekali
yang sempat merasakan khusyuknya shalat dan tenangnya hati karena zikir. Dalam
keadaan demikian, kita bisa disibukkan oleh maksiat yang terus-menerus. Sesekali
dapat melepaskan diri dari maksiat memandang wanita ajnabi (bukan muhrim), tetapi
masuk kepada maksiat lainnya. Pikiran disibukkan oleh hal-hal yang kurang maslahat,
sedang mulut mengucapkan kalimat-kalimat yang memiriskan hati.
Di saat seperti ini, kita dapat merenungkan sekali lagi peringatan Rasulullah
Muhammad yang terjaga. Dalam sebuah hadis yang berasal dari Abu Dzar r.a.,
Rasulullah Saw. menegaskan:
“Orang yang paling buruk di antara kalian ialah yang melajang (membujang),
dan seburuk-buruk mayat (di antara) kalian ialah yang melajang (membujang).”
(HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dari
Athiyyah bin Yasar. Hadis ini dha'if, begitu 'Abdul Hakim 'Abdats
menjelaskan).
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla melindungi kita dari kematian dalam keadaan
membujang, sementara niat yang sungguh-sungguh untuk segera melangsungkan
pernikahan, belum tumbuh. Semoga Allah Swt. menolong mereka yang telah
mempunyai niat. Kalau belum lurus niatnya, mudah-mudahan Allah mensucikan niat
dan prasangkanya. Kalau telah kuat tekadnya (‘azzam), semoga Allah menyegerakan
terlaksananya pernikahan yang barakah dan dipenuhi ridha-Nya. Kalau mereka masih
terhalang, mudah-mudahan Allah melapangkan dan kelak memberikan keturunan
yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah.
Saya teringat, terhadap hal-hal yang sangat dikecam dan diberikan peringatan
mengenai bahayanya, biasanya Islam memberikan penghormatan yang tinggi untuk
hal-hal yang merupakan kebalikannya. Kalau membujang sangat tidak disukai, kita
mendapati bahwa menikah mendekatkan manusia kepada surga-Nya. Ketika
dikabarkan kepada kita bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah bujangan, kita
banyak mendapati di dalam hadis tentang kemuliaan akhirat dan bahkan keindahan
hidup di dunia yang insya-Allah akan didapatkan melalui pernikahan. Seorang yang
menikah, berarti menyelamatkan setengah dari agamanya. Bahkan, bagi seorang
remaja, menikah berarti menyelamatkan dua pertiga dari agamanya.
Kita menjumpai hadis yang memberikan pertanyaan retoris sebagai sindiran,
“Apa yang menghalangi seorang mukmin untuk mempersunting istri? Mudahmudahan
Allah mengaruniainya keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan
kalimat laa ilaha illaLlah.” Maka kita juga menjumpai hadis-hadis yang
menjaminkan kepada kita yang ingin menikah demi menjaga kehormatan dan
kesucian farjinya.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga orang yang akan selalu
diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan
agama Allah Swt., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang
menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Thabrani)
Dalam hadis lain dalam derajat shahih, Rasulullah Saw. bersabda:
“Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak
mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan
maksud memelihara kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR
Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim dan Daruquthni).
Masih ada hadis senada. Namun demikian, ada baiknya kalau kita alihkan
perhatian sejenak kepada peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah, “Bukan
termasuk golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya
karena menikah kemudian ia tidak menikah.” (HR Thabrani).
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang memiliki keyakinan. Tanpa
keyakinan, ilmu akan kosong maknanya.
Kupinang Engkau dengan Hamdalah
Banyak jalan yang mengantarkan orang kepada peminangan dan pernikahan.
Banyak sebab yang mendekatkan dua orang yang semula saling jauh menjadi suamiistri
yang penuh barakah dan diridhai Allah. Tapi sekarang bukan saatnya untuk
membicarakan masalah ini. Insya-Allah lain kali saya akan membicarakan dalam
buku tersendiri.
Sekarang, ketika niat sudah mantap dan tekad sudah bulat, marilah
mempersiapkan hati untuk melangkah ke peminangan.
Mendahului dengan Hamdalah
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kekuatan pada Anda menghadap
orangtua seorang wanita untuk melakukan peminangan. Setelah perkenalan dan
percakapan sejenak dengan keluarga akhwat yang akan dipinang, sekarang marilah
kita mendengarkan nasehat Imam Nawawi.
Orang yang meminang, kata Imam Nawawi dalam Al-Adzkaarun Nawawiyyah,
disunnahkan untuk memulai dengan membaca hamdalah dan shalawat untuk Rasul
Saw. Ustadz Abdul Hamid Kisyik dalam bukunya Bimbingan Islam untuk Mencapai
Keluarga Sakinah (Al-Bayan, 1995) mengingatkan kembali. Dianjurkan, kata Hamid
Kisyik, memulai lamaran dengan hamdalah dan pujian lainnya kepada Allah Swt.
serta shalawat kepada Rasul-Nya.
Pinanglah ia dengan mengucapkan, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Allahumma
shalli ‘aala Muhammad wa ‘alaa ali Muhammad.”
Kalau ingin menggunakan shalawat lain, silakan. Ada berbagai ucapan shalawat
yang dibenarkan oleh As-Sunnah. Ada shalawat yang panjang, meliputi Rasulullah,
istri-istri beliau serta keluarganya. Tetapi shalawat yang pendek juga tidak apa-apa.
Hanya saja, sebaiknya shalawat tidak dipenggal hanya sampai kepada Rasulullah saja.
Ucapkanlah shalawat minimal untuk Rasulullah beserta ‘aal beliau Saww. Semoga
yang demikian ini menjadikan peminangan Anda barakah.
Sesudah itu, ucapkan:
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-
Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku datang
pada kalian untuk mengungkapkan keinginan kami melamar putri kalian --Fulanah
binti Fulan -- atau janda kalian --Fulanah binti Fulan."
Atau kalimat lain yang semakna.
Kami, kata Imam Nawawi selanjutnya, di dalam kitab Sunan Abu Daud, Sunan
Ibnu Majah, dan yang lainnya meriwayatkan melalui Abu Hurairah r. a. yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Setiap perkataan --menurut riwayat yang lain setiap perkara-- yang tidak
dimulai dengan bacaan hamdalah, maka hal itu sedikit barakahnya --menurut riwayat
yang lain terputus dari kebarakahannya.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam
Ahmad, hasan).
Pada sebuah kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Abu
Hurairah, kata Ustadz Abdul Hamid Kisyik, dari Abu Hurairah r.a., Nabi Saw.
bersabda, “Setiap lamaran yang tidak ada syahadat di dalamnya seperti tangan
yang tidak membawa berkah.”
Setelah pinangan kita sampaikan, biarlah pihak keluarga wanita dan wanita yang
bersangkutan untuk mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban dengan
segera, sebelum kaki bergeser dari tempat berpijaknya, sebab pernikahan
mendekatkan kepada keselaman akhirat, sedang calon yang datang sudah diketahui
akhlaknya. Sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi kepastian
apakah pinangan ditolak atau diterima, karena pernikahan bukanlah untuk
sehari dua hari saja.
Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang
lebih tahu keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Cukuplah Anda memegangi
husnuzhan Anda kepada mereka. Bukankah ketika Anda meminang seorang wanita
berarti Anda mempercayai wanita yang Anda harapkan beserta keluarganya?
Keputusan apa pun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah
yang lurus, adalah baik dan insya-Allah memberi akibat yang baik bagi Anda. Tidak
kecewa orang yang istikharah dan tidak merugi orang yang musyawarah. Maka, apa
pun hasil musyawarah sepanjang dilakukan dengan baik, akan membuahkan
kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk atau negatif, jika memang
didasarkan pada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena tidak memberi
kesempatan kepada Anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat Anda
memang untuk silaturrahmi, bukankah masih tersedia banyak peluang lain untuk itu?
Anda telah meminangnya dengan hamdalah. Anda telah dimampukan datang
oleh Allah yang Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semua yang lain
adalah kecil. Apalagi kita. Kita cuma manusia. Manusia adalah makhluk yang ke
mana pun mereka pergi, selalu membawa wadah kotoran yang busuk baunya.
Kita ini kecil. Anda juga kecil. Saya apalagi.
Lalu, apa alasan kita untuk merasa besar kalau tidak ada yang takabur kepada
kita? Apakah karena Anda merasa hanya mencari ridha Allah, padahal ketika memutuskan
pun mereka berniat mencari ridha Allah?
Ada pelajaran yang sangat berharga dari Bilal bin Rabah, muadzin kecintaan
Rasulullah Saw. tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap
Kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan:
“Saya ini Bilal, dan ini saudaraku. Kami datang untuk meminang. Dahulu kami
berada dalam kesesatan kemudian Allah memberi petunjuk. Dahulu kami budakbudak
belian, kemudian Allah memerdekakan...,” kata Bilal.
Kemudian ia melanjutkan, “Jika pinangan kami Anda terima, kami panjatkan
ucapan Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Dan kalau Anda menolak, maka kami
mengucapkan Allahu Akbar. Allah Maha Besar.”
Menurut pandangan Bilal, jika pinangan diterima, maka hanya Allah yang
berhak dan layak dipuji. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah Tuhan
seru sekalian alam. Pujian dalam segala bentuknya. Peminangan pun insya-Allah
merupakan sebentuk pujian kepada-Nya dengan menjaga kehormatan atas apa yang
dikaruniakan kepada kita. Adapun kalau pinangan ditolak, kita ingat bahwa yang
besar dan seharusnya besar di mata dan hati kita adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
Peminangan adalah salah satu bentuk ikhtiar untuk mengagungkan Allah. Kita
mengagungkan Allah dengan berusaha menghalalkan karunia kecintaan kepada lawan
jenis melalui ikatan pernikahan yang oleh Allah disebut mitsaqan-ghalizha
(perjanjian yang sangat berat).
Maka, kalau pinangan yang Anda sampaikan ditolak, agungkan Allah. Semoga
kita tetap berbaik sangka kepada Allah. Kita tetap berprasangka baik. Sebab, bisa jadi,
penolakan justru merupakan jalan pensucian jiwa dari kezaliman-kezaliman diri kita
sendiri. Boleh jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai kematangan,
kemantapan, dan kejernihan niat, mengingat bahwa ada banyak hal yang dapat
menyebabkan terkotorinya niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat Anda,
kecuali jika justru Anda merendahkan diri sendiri. Tapi kita juga perlu memeriksa
hati, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ‘ujub (kagum pada diri sendiri).
Penolakan bisa saja merupakan “metode Allah” untuk meluruskan niat dan
orientasi Anda.
Kekecewaan mungkin saja timbul. Barangkali ada yang merasa perih, barangkali
juga ada yang merasa kehilangan rasa percaya diri ketika itu. Dan ini merupakan
reaksi psikis yang wajar, sehingga saya juga tidak ingin mengatakan, “Tidak usah
kecewa. Anggap saja tidak ada apa-apa.”
Kecewa adalah perasaan yang manusiawi. Tetapi ia harus diperlakukan dengan
cara yang tepat agar ia tidak menggelincirkan kita ke jurang kenistaan yang sangat
jelas.
Rasulullah Saw. mengajarkan, “Ada tiga perkara yang tidak seorang pun dapat
terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial, dan dengki. Dan aku akan memberikan
jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka,
janganlah dinyatakan; dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat
dienyahkan; dan bila timbul di hatimu dengki, janganlah diperturutkan.”
Kekecewaan memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa.
Mereka berusaha membuang jauh-jauh sumber kekecewaan. Mereka berusaha
memendam dalam-dalam atau segera menutupi rapat-rapat dengan menjauh dari
sumber kekecewaan. Repress, istilah psikologinya. Sekilas tampak tak ada masalah,
tetapi setiap saat berada dalam kondisi rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi
dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian ini tidak dikehendaki Islam.
Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang pelan-pelan secara wajar,
sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan sehingga tidak
kehilangan obyektivitas dan kejernihan hati. Kalau kita bisa mengambil jarak, kita
tidak lingsem, tidak terjerembab dalam subjektivisme yang berlebihan. Kita menjadi
lebih tegar, meskipun untuk menghapus rasa kecewa dengan cara itu dibutuhkan
proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan cara me-repress-nya.
Kalau Anda ternyata mengalami rasa kecewa, periksalah niat-niat Anda. Di balik
yang Anda anggap baik, mungkin ada niat-niat yang tidak lurus. Periksalah motifmotif
yang melintas-lintas dalam batin Anda selama peminangan hingga saat-saat
menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati Anda berproses secara wajar sampai
menemukan kembali ketenangannya secara mantap.
Perahu telah berlayar. Ketika angin bertiup kencang, matikan mesin. Inilah
tawakkal, begitu seorang guru pernah menasehati “murid”-nya.
Tetapi, kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai dengan
harapan Anda, berbahagialah sejenak. Bersyukurlah. Insya-Allah kesendirian yang
Anda alami dengan menanggung rasa sepi, sebentar lagi akan berganti dengan canda
dan keramahan istri yang setia mendampingi. Wajahnya yang ramah dan teduh, insya-
Allah akan menghapus kepenatan Anda selama berada di luar rumah. Insya-Allah,
sebentar lagi.
Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi Anda untuk
melakukan apa saja yang menjadi hak Anda bersamanya. Setelah tiba masanya, halal
bagi Anda untuk merasakan kehangatan cintanya. Kehangatan cinta wanita yang telah
mempercayakan kesetiaannya kepada Anda. Setelah tiba masanya, halal bagi Anda
untuk menemukan pangkuannya ketika Anda risau.
Tetapi, tunggulah beberapa saat. Sebentar lagi. Selama menunggu, ada
kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan, Allah memberikan banyak
keindahan dan kemuliaan. Ada amanah apa di baliknya?
---
... jika sikap menawarkan diri
dilakukan dengan ketinggian sopan-santun,
tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat.
Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan mendalam
pasti akan meninggikan penghormatan
terhadap mujahadah saudaranya.
Tidak akan merendahkan
wanita yang menjaga kehormatannya seperti ini,
kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki kehormatan ....
---
Wanita Boleh Menawarkan Diri
Ada empat wanita yang mulia di surga, salah satunya adalah Khadijah bin
Khuwailid. Kelak dari rahimnya yang suci, lahir salah seorang wanita utama lainnya,
yaitu Fathimah az-Zahra. Keduanya adalah orang yang paling dicintai Rasulullah
Muhammad Saw. Yang pertama adalah istri beliau, sedang yang kedua adalah ummu
abiha (ibu yang melahirkan bapaknya). Begitu Rasulullah menjuluki.
Sangat besar rasa cinta Rasulullah kepada Khadijah. Sampai-sampai Aisyah, istri
Nabi yang paling dicintai di antara istri-istri lain sesudah Khadijah, merasa sangat
cemburu. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim menceritakan bahwa Aisyah
mengatakan, “Tidak pernah aku merasa cemburu kepada seorang pun dari istri-istri
Rasulullah seperti kecemburuanku terhadap Khadijah. Padahal aku tidak pernah
melihatnya. Tetapi Rasulullah seringkali menyebut-nyebutnya. Jika ia memotong
seekor kambing, ia potong-potong dagingnya, dan mengirimkannya kepada sahabatsahabat
Khadijah.
Maka aku pun berkata kepadanya, ‘Sepertinya tidak ada wanita lain di dunia ini
selain Khadijah...!’
Maka berkatalah Rasulullah, ‘Ya, begitulah ia, dan darinyalah aku mendapat
anak.’“
Dalam suatu riwayat dikisahkan, suatu saat Aisyah merasa cemburu, lalu berkata,
“Bukankah ia hanya seorang wanita tua dan Allah telah memberi gantinya untukmu
yang lebih baik daripadanya? Maka beliau pun marah sampai berguncang rambut
depannya. Lalu beliau berkata, ‘Demi Allah! Ia tidak memberikan ganti untukku yang
lebih baik daripadanya. Khadijah telah beriman kepadaku ketika orang-orang
masih kufur, ia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, ia memberikan
hartanya kepadaku ketika manusia yang lain tidak mau memberiku, dan Allah
memberikan kepadaku anak darinya dan tidak memberiku anak dari yang lain.’
Maka aku berkata dalam hati, “Demi Allah, aku tidak akan lagi menyebut
Khadijah dengan sesuatu yang buruk selama-lamanya.”
Pernikahan Khadijah dengan Rasulullah Saw. adalah yang paling indah dan
penuh barakah. Pernikahan yang seagung ini justru berawal dari inisiatif Khadijah. Ia
mengusulkan pernikahan kepada Muhammad Saw., menurut riwayat, dengan mahar
yang berasal dari hartanya.
Ia menolak menikah dengan raja-raja, para bangsawan, dan para hartawan yang
meminangnya, tetapi ia lebih menyukai Muhammad yang miskin dan yatim. Ia
mencari suami yang agung, kuat, berkepribadian tinggi, dan berjiwa bersih. Dan itu
ada pada Muhammad. Ia terkesan dengan Muhammad.
Ketika hatinya terpikat betul, ia meminta Maisarah yang menjadi pembantu
dekatnya untuk memperhatikan gerak-gerik dan tingkah-laku Muhammad dari dekat.
Laporan Maisarah kelak mendorong Khadijah menawarkan dirinya kepada beliau.
Khadijah mengungkapkan kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, aku senang
kepadamu karena kekerabatanmu dengan aku, kemuliaanmu dan pengaruhmu di
tengah-tengah kaummu, sifat amanahmu di mata mereka, kebagusan akhlakmu, dan
kejujuran bicaramu.”
Setelah melalui proses peminangan yang agung, Khadijah kemudian menikah
dengan Muhammad. Abu Thalib menyampaikan khotbah nikah mewakili pihak
pengantin laki-laki. Sedang pihak pengantin perempuan diwakili oleh Waraqah bin
Naufal dengan khotbah yang fasih dan memikat. Kelak, Allah mengaruniakan
keturunan, salah satunya wanita agung Fathimah Az-Zahra.
Menikah merupakan sunnah yang diagungkan oleh Allah. Al-Qur’an menyebut
pernikahan sebagai mitsaqan-ghalizha (perjanjian yang sangat berat). Mitsaqanghalizha
adalah nama dari perjanjian yang paling kuat dihadapan Allah. Hanya tiga
kali Al-Qur’an menyebut mitsaqan-ghalizha. Hanya untuk tiga perjanjian Allah
memberi nama mitsaqan-ghalizha. Dua perjanjian berkenaan dengan tauhid, yaitu
perjanjian Allah dengan Bani Israel yang untuk itu Allah mengangkat bukit Thursina
ketika mengambil sumpah. Sedang yang lain adalah perjanjian Allah dengan para
Nabi ulul-azmi, Nabi yang paling utama di antara para Nabi. Dan, pernikahan
termasuk perjanjian yang oleh Allah digolongkan sebagai mitsaqan-ghalizha. Allah
menjadi saksi ketika seseorang melakukan akad nikah. Wallahua’lam bishawab.
Setiap jalan menuju mitsaqan-ghalizha dimuliakan oleh Allah. Islam
memberikan penghormatan yang suci kepada niat dan ikhtiar untuk menikah. Nikah
adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan
biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan
dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kekuatan agamanya, dan
kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah adalah teladan pertama bagi
wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.
Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlak dan kesungguhan untuk
mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan
pahala-Nya. Yakinlah, Allah pasti akan mencatatnya sebagai kemuliaan dan
mujahadah (perjuangan) suci. Tidak peduli tawarannya itu diterima atau ditolak,
terutama kalau ia tidak memiliki seorang wali. Demikian saya mencatat dari buku
Memilih Jodoh dan Tatacara Meminang dalam Islam karya Husein Muhammad
Yusuf (GIP, Jakarta, 1995).
Insya-Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopansantun,
tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang
memiliki pengetahuan mendalam pasti akan meninggikan penghormatan terhadap
mujahadah saudaranya. Tidak akan merendahkan wanita yang menjaga
kehormatannya seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki
kehormatan kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.
Seorang laki-laki insya-Allah akan sangat hormat, setia, dan menaruh kasihsayang
mendalam jika ia menerima tawaran wanita shalihah untuk menikahi. Mudahmudahan
Allah menambahkan kemuliaan dalam keluarganya dan memberikan
keturunan yang meninggikan derajat orangtua di hadapan Allah. Kalau terhalang
untuk menerima tawaran, insya-Allah pada diri laki-laki akan tumbuh rasa hormat,
segan, dan respek terhadapnya.
Sungguh, saya sangat hormat kepada mereka yang berani bermujahadah. Kepada
mereka, saya ingin menyampaikan salam hormat saya. Semoga Allah memberi
pertolongan dan ridha-Nya kepada kita semua sampai kelak Allah mengumpulkan di
akhirat. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan mereka bersama
Khadijah di Al-Haudh. Allahumma amin. Ya Allah ini hamba-Mu memohon kepada-
Mu.
Saya ingin membahas masalah ini lebih lanjut, mengingat pentingnya masalah
ini. Sedang sikap seperti ini merupakan sikap terhormat yang dimuliakan. Tetapi
untuk lebih baik dan tuntasnya, insya-Allah akan saya tuliskan dalam buku tersendiri.
Saat ini cukuplah dengan melihat contoh-contoh lain yang tercatat dalam sejarah.
Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a. Ada seorang wanita yang
datang menawarkan diri kepada Rasulullah Saw. dan berkata, “Ya, Rasulullah!
apakah Baginda membutuhkan daku?”
Putri Anas yang hadir dan mendengar perkataan wanita itu mencela sebagai
wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu, “Alangkah sedikit rasa malunya.
Sungguh memalukan, sungguh memalukan.”
Anas berkata kepada putrinya itu, “Dia lebih baik darimu. Dia senang kepada
Rasulullah Saw., lalu menawarkan dirinya untuk beliau!” (HR Bukhari).
Rabi’ah binti Ismail Asy-Syamiyah, istri Ahmad bin Abu Al-Huwari --murid
Abu Sulaiman Ad-Darani, seusai menunaikan shalat Isya’, berhias lengkap dengan
busananya. Setelah itu ia mendekati tempat tidur suaminya. Ia menawarkan kepada
suaminya, “Apakah malam ini engkau membutuhkan kehadiranku atau tidak?”
Jika suaminya berhasrat untuk menggaulinya, ia melayani sampai suaminya
mencapai kepuasan. Kalau malam itu suaminya sedang tidak berminat, maka ia
menukar pakaian yang dikenakan tadi dan berganti dengan pakaian lain yang biasa
digunakan untuk beribadah. Malam itu, ia tenggelam di tempat shalatnya hingga
subuh.
Rabi’ah adalah salah satu istri Ahmad bin Abu Al-Huwari. Suatu hari, ia
memasak makanan yang enak. Masakan itu diberi campuran aroma yang harum.
Setelah masak dan menyantap makanan itu, Rabi’ah berkata kepada suaminya,
“Pergilah ke istrimu yang lain dengan membawa tenaga baru.”
Sebelum menikah dengan Ahmad bin Abu Al-Huwari, Rabi’ah telah menikah
dengan seorang suami yang kaya. Sesudah kematian suaminya, ia memperoleh harta
waris yang sangat besar. Ia kesulitan menasharufkan (membelanjakan) hartanya demi
kepentingan Islam dan diberikan kepada orang yang membutuhkan. Ia melihat
Ahmad bin Abu Al-Huwari sebagai orang yang dapat menjalankan amanah.
Sementara itu, Rabi’ah sendiri seorang perempuan yang adil.
Maka, ia meminang Syekh Ahmad bin Abu Al-Huwari agar berkenan
memperistri dirinya. Ketika mendapatkan pinangan Rabi’ah, Syekh Ahmad berkata,
“Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin
berkonsentrasi dalam beribadah.”
Rabi’ah menjawab, “Syekh Ahmad, sesungguhnya konsentrasiku dalam
beribadah lebih tinggi daripada kamu. Aku sendiri sudah memutuskan keinginan
untuk tidak menikah. Tetapi tujuanku menikah kali ini tidak lain agar dapat
menasharufkan harta kekayaan yang kumiliki kepada saudara-saudara yang muslim,
dan untuk kepentingan Islam sendiri. Aku pun mengerti bahwa kamu adalah seorang
yang shalih. Tetapi, justru dengan begitu aku akan memperoleh keridhaan dari Allah
Swt.”
Ahmad bin Abu Al-Huwari tidak segera memberikan jawaban. Ia perlu
mengkonsultasikan dulu dengan Abu Sulaiman Ad-Darani, gurunya. Memperoleh
penjelasan dari Syekh Ahmad, Ad-Darani berkata, “Baiklah, kalau begitu nikahilah
dia. Karena perempuan itu adalah seorang wali”.
Bagi banyak wanita, mengajukan tawaran secara langsung barangkali sulit
dilakukan karena kendala-kendala psikis. Bisa juga untuk lebih menjaga kehormatan.
Jika menghadapi yang demikian, Anda bisa menyampaikan niat Anda melalui orang
lain yang dapat dipercaya (tsiqah), terutama orangtua jika masih ada.
Orangtua juga bisa mengambil inisiatif untuk menawarkan anak gadisnya kepada
laki-laki yang telah dikenal akhlaknya. Umar bin Khaththab r.a., ayah Hafshah,
adalah salah satu contoh.
Imam Bukhari meriwayatkan, Umar bin Khaththab berkata:
Saya datang kepada Utsman bin Affan, menawarkan Hafshah kepadanya. Lalu
Utsman berkata, “Nantilah, saya akan pikirkan dulu!”
Pada waktu itu istri Utsman bin Affan, Sayyidatina Ruqaiyyah binti Rasulullah
Saw. meninggal dunia ketika perang Badar berkobar. Dan Utsman diperintahkan oleh
Nabi untuk mengurus istrinya. Beberapa malam kemudian, Utsman berjumpa dengan
saya dan berkata, “Saya pikir, pada waktu ini saya belum berminat untuk kawin.”
Setelah itu, saya pergi menawarkan putriku kepada Abu Bakar, “Kalau kau mau,
saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah!” Abu Bakar diam dan tidak
menjawab tawaran saya. Saya sangat marah dan kurang senang dengan sikapnya yang
berbeda dengan Utsman, meski Ustman juga menolak anakku.
Beberapa malam kemudian, Hafshah dipinang oleh Rasulullah Saw. Beliau
sudah mengobati luka hati saya karena penolakan kedua sahabatku itu. Tiba-tiba Abu
Bakar datang dan menemuiku sambil berkata, “Mungkin kau marah dan kurang
senang kepada saya. Ketika kau menawarkan Hafshah, saya diam dan tidak menjawab
sepatah pun!”
Saya jawab, “Ya, benar.”
Lalu Abu Bakar melanjutkan, “Sebenarnya saya ingin sekali menerima
tawaranmu itu. Tetapi sebelum engkau menawarkan Hafshah kepadaku, aku sudah
mendengar Nabi Saw. menyebut-nyebut untuk meminangnya. Dan aku tidak mau
membuka rahasia beliau kepadamu. Namun, jika beliau tidak jadi menikahinya, tentu
akan saya terima tawaranmu itu dengan senang hati.” (Shahih Bukhari).
Kita tinggalkan dulu kisah pernikahan Ummul Mukminin Hafshah r.a. dengan
manusia utama, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘alaa `alihi wasallam.
Insya-Allah kita bisa melanjutkan lagi dengan kisah-kisah lain yang kemudian
melahirkan keturunan pilihan. Misal, pernikahan orangtua ‘Abdullah bin Mubarok. Ia
sangat terkenal di kalangan para ulama, shalihin, ahli zuhud dan para ilmuwan. Ia
lahir dari pernikahan anak gadis Nuh bin Maryam dengan Mubarok, budaknya yang
jujur.
Kita bisa melanjutkan ke kisah-kisah lainnya. Tetapi saya kira, Anda bisa
menemukan sendiri kisah-kisah demikian di berbagai buku. Sekarang, marilah kita
tutup bab ini dengan memohon kepada Allah mudah-mudah kita tidak dimatikan
oleh-Nya dalam keadaan membujang. Mudah-mudahan Allah memperbaiki akhlak
kita yang masih penuh maksiat ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita
keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat laa ilaha illaLlah.
Sesudahnya, bagi para orangtua maupun akhwat yang sedang menghadapi
pinangan (atau, sedang bersiap menghadapi pinangan), mari kita lanjutkan
pembicaraan ke bab dua Mempertimbangkan Pinangan.
Sedang bagi ikhwan yang telah memiliki hasrat, atau sempat jatuh hati, jika telah
memenuhi syaratnya silakan mendatangi orangtuanya secara resmi. Menikah secara
resmi. Menantikan saatnya tiba yang kadang prosesnya tak mudah, tetapi sering juga
sangat sederhana. Di sinilah indahnya mujahadah. Semoga Allah menjadikan
pendamping kita termasuk wanita shalihah yang penuh barakah, dan darinya lahir
keturunan yang hukma-shabiyya rabbi radhiya (memiliki kearifan semenjak kecil dan
diridhai Allah).
Allahumma amin. Ya Allah, kabulkanlah do’a kami.
Rabu, 06 Oktober 2010
Kajian Tafsir al Fatihah I
Pengantar :
Dalam penamaan surat dan penempatan surat/ayat dalam al-Qur'an semuanya berdasarkan petunjuk ilahi (taufiqi), oleh karena itu tidak ada perdebatan mengenai hal itu.Dengan pendekatan tafsir dapat saja dipahami akan makna penempatan satu surat atau satu ayat dalam wacana besar al-Qur'an.Begitu pula halnya dengan surat al-Fatihah, yang secara nyata diletakkan di awal al-Qur'an dan disebut sebagai surat pembuka (muqaddimah) darinya. tentu akan banyak hikmah yang didapatkan dalam kajian tentang al Fatihah ini. Di antaranya adalah :
1. Penamaan al-Fatihah.
Sebagaimana diketahui bahwa sistematika penulisan buku yang baik, seharusnya memang memuat ; pendahuluan atau pengantar-yang mana di dalamnya terdapat ringkasan menyeluruh dari isi buku itu, maka begitu juga halnya dengan al-Qur'an yang menempatkan al-Fatihah sebagai muqaddimah dari keseluruhan isi al-Qur'an. hal ini dapat dibuktikan dengan termuatnya ringkasan dan garis besar pokok bahasan yang dibicarakan dalam al-Qur'an termuat dan terangkum dengan ringkas dan padat dalam surat al-Fatihah ini, maka ia disebut surat al-Fatihah (surat pembuka). Surat al-Fatihah adalah kunci dan jalan masuk bagi setiap orang untuk masuk dan menyelami samudra hikmah dari lautan al-Fatihah. Bahkan mungkin inilah yang menjadi landasan bagi setiap kita saat memulai membaca, menela'ah dan mempelajari al-Qur'an diawali dengan pembacaan al-Fatihah.
2.Kandungan al-Fatihah
Secara tegas dapat dipahami bahwa pokok bahasan yang terdapat dalam ayat-ayat al Fatihah adalah merupakan ringkasan dari tema-tema besar bahasan al-Qur'an, di antaranya adalah mengenai :1)Aspek Ketuhanan, 2)Aspek Ibadah, 3)Aspek Janji dan Ancaman, serta 4)Kisah/kabar tentang orang-orang terdahulu.
3. Nama-nama lain al-Fatihah
Selain dari al-Fatihah, surat pertama ini juga memiliki nama-nama lain yang tentu juga memiliki arti dan hikmah-hikmah lainnya. seperti ummul kitab, ummul Qur'an, sab'ul matsaanie.Kalau ummul kitab adalah gambaran umum akan statemen bahwa al-Fatihah adalah rangkuman dari seluruh kitab wahyu yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia, sedangkan ummul Qur'an adalah merupakan induk dan rangkuman dari al-Qur'an. Makna sab'ul matsaanie ini adalah bahwa al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat ini adalah merupakan ayat-ayat indah dalam lukisan kalimat sastra (balaghoh) yang tinggi serta mengalami pengulangan dua kali dari semua tema yang disampaikan di dalamnya.
Kalimat bismillah (pada ayat 1) dinegasi lagi dengan kalimat alhamdulillah (pada ayat 2) hal ini mengandung makna bahwa semua urusan seharusnya dimulai dan didasari oleh kalimat "dengan nama Allah" pasti akhirnya akan bermuara kepada pengagungan dan pemujian hanyalah milik Allah sebagaimana terkandung dalam kalimat "alhamdulillah".
Asma' Allah "ar-Rahman (Maha Pengasih)" dan "ar-Rahim (Maha Penyayang)" diulang dua kali pada ayat 1 dan 3, hal ini tentu saja mengukuhkan keyakinan kita bahwa sifat kasih dan sayang Allah inilah yang dominan. sungguh kurang tepat jika Allah selalu dilukiskan dengan amarah, murka, pendendam serta semua sifat buruk lainnya, padahal kasih sayang Allah jauh lebih luas dari semua itu. Bahkan Ibnu Arabi berkata bahwa terciptanya alam semesta ini bukanlah karena sifat Qudrah (Kekuasaan) atau sifat Irodah (Kehendak) pada Allah, akan tetapi terciptanya alam raya ini karena sifat kasih sayang (ar-Rahman dan ar-Rahim) yang ada pada Dzat Allah.
Kemudian kalimat "rabbul 'aalamin (Pengatur/Pencipta alam raya ini)" yang mempertegas kekuasaan Allah atas alam semesta ini, dipertegas lagi dengan pengungkapan kekuasaan Allah pada alam akhirat nanti dalam ayat ke-4 "maaliki yaum ad-diin (Penguasa hari kemudian)". Kekuasaan mutlak milik Allah ini pada seluruh tataran alam semesta, maka ayat 1 sampai dengan ayat 4 adalah merupakan bukti dasar dari konsep "Tauhid rububiyyah" yaitu bahwa Allah itu Maha Esa dan Ia sendirian dalam mencipta, mengatur, memelihara atau bahkan menghancurkan alam semesta yang telah Ia cipta.
Dalam penamaan surat dan penempatan surat/ayat dalam al-Qur'an semuanya berdasarkan petunjuk ilahi (taufiqi), oleh karena itu tidak ada perdebatan mengenai hal itu.Dengan pendekatan tafsir dapat saja dipahami akan makna penempatan satu surat atau satu ayat dalam wacana besar al-Qur'an.Begitu pula halnya dengan surat al-Fatihah, yang secara nyata diletakkan di awal al-Qur'an dan disebut sebagai surat pembuka (muqaddimah) darinya. tentu akan banyak hikmah yang didapatkan dalam kajian tentang al Fatihah ini. Di antaranya adalah :
1. Penamaan al-Fatihah.
Sebagaimana diketahui bahwa sistematika penulisan buku yang baik, seharusnya memang memuat ; pendahuluan atau pengantar-yang mana di dalamnya terdapat ringkasan menyeluruh dari isi buku itu, maka begitu juga halnya dengan al-Qur'an yang menempatkan al-Fatihah sebagai muqaddimah dari keseluruhan isi al-Qur'an. hal ini dapat dibuktikan dengan termuatnya ringkasan dan garis besar pokok bahasan yang dibicarakan dalam al-Qur'an termuat dan terangkum dengan ringkas dan padat dalam surat al-Fatihah ini, maka ia disebut surat al-Fatihah (surat pembuka). Surat al-Fatihah adalah kunci dan jalan masuk bagi setiap orang untuk masuk dan menyelami samudra hikmah dari lautan al-Fatihah. Bahkan mungkin inilah yang menjadi landasan bagi setiap kita saat memulai membaca, menela'ah dan mempelajari al-Qur'an diawali dengan pembacaan al-Fatihah.
2.Kandungan al-Fatihah
Secara tegas dapat dipahami bahwa pokok bahasan yang terdapat dalam ayat-ayat al Fatihah adalah merupakan ringkasan dari tema-tema besar bahasan al-Qur'an, di antaranya adalah mengenai :1)Aspek Ketuhanan, 2)Aspek Ibadah, 3)Aspek Janji dan Ancaman, serta 4)Kisah/kabar tentang orang-orang terdahulu.
3. Nama-nama lain al-Fatihah
Selain dari al-Fatihah, surat pertama ini juga memiliki nama-nama lain yang tentu juga memiliki arti dan hikmah-hikmah lainnya. seperti ummul kitab, ummul Qur'an, sab'ul matsaanie.Kalau ummul kitab adalah gambaran umum akan statemen bahwa al-Fatihah adalah rangkuman dari seluruh kitab wahyu yang diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia, sedangkan ummul Qur'an adalah merupakan induk dan rangkuman dari al-Qur'an. Makna sab'ul matsaanie ini adalah bahwa al-Fatihah yang terdiri dari tujuh ayat ini adalah merupakan ayat-ayat indah dalam lukisan kalimat sastra (balaghoh) yang tinggi serta mengalami pengulangan dua kali dari semua tema yang disampaikan di dalamnya.
Kalimat bismillah (pada ayat 1) dinegasi lagi dengan kalimat alhamdulillah (pada ayat 2) hal ini mengandung makna bahwa semua urusan seharusnya dimulai dan didasari oleh kalimat "dengan nama Allah" pasti akhirnya akan bermuara kepada pengagungan dan pemujian hanyalah milik Allah sebagaimana terkandung dalam kalimat "alhamdulillah".
Asma' Allah "ar-Rahman (Maha Pengasih)" dan "ar-Rahim (Maha Penyayang)" diulang dua kali pada ayat 1 dan 3, hal ini tentu saja mengukuhkan keyakinan kita bahwa sifat kasih dan sayang Allah inilah yang dominan. sungguh kurang tepat jika Allah selalu dilukiskan dengan amarah, murka, pendendam serta semua sifat buruk lainnya, padahal kasih sayang Allah jauh lebih luas dari semua itu. Bahkan Ibnu Arabi berkata bahwa terciptanya alam semesta ini bukanlah karena sifat Qudrah (Kekuasaan) atau sifat Irodah (Kehendak) pada Allah, akan tetapi terciptanya alam raya ini karena sifat kasih sayang (ar-Rahman dan ar-Rahim) yang ada pada Dzat Allah.
Kemudian kalimat "rabbul 'aalamin (Pengatur/Pencipta alam raya ini)" yang mempertegas kekuasaan Allah atas alam semesta ini, dipertegas lagi dengan pengungkapan kekuasaan Allah pada alam akhirat nanti dalam ayat ke-4 "maaliki yaum ad-diin (Penguasa hari kemudian)". Kekuasaan mutlak milik Allah ini pada seluruh tataran alam semesta, maka ayat 1 sampai dengan ayat 4 adalah merupakan bukti dasar dari konsep "Tauhid rububiyyah" yaitu bahwa Allah itu Maha Esa dan Ia sendirian dalam mencipta, mengatur, memelihara atau bahkan menghancurkan alam semesta yang telah Ia cipta.
Minggu, 22 Agustus 2010
Sembilan Wasiat Rasulullah (Refleksi Pemikiran K.H.M.Idris Djauhari, Al Amien Prenduan Madura)
Dalam Kitab “Misykat al-Mashobih” lit-Tibriziy, Kitab “Al-‘Aqd al-Farid” lil Andalusy, Kitab “Al-Bayan wa at-Tabyin” lil Jaahidh, dan Kitab “Bahjah al-Majalis” li Ibni Abdil Bar disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tuhanku telah berwasiat kepadaku dengan 9 perkara, dan aku wasiatkan kepada kalian (untuk melaksanakannya) : Tuhanku berwasiat (1). agar aku berlaku “ikhlas’ baik secara tersembunyi atau terang-terangan, (2). agar bersikap “adil” baik pada saat ridho atau marah (3) agar bersikap “sederhana” baik dalam keadaan kaya atau miskin (4) agar aku “memaafkan” orang yang dholim kepadaku, (5) agar aku “memberi” kepada orang yang mencekalku (6) agar aku “menyambung silaturrahim” dengan orang yang memutuskannya (7) agar aku menjadikan “diam”ku untuk berpikir (8) agar menjadikan “bicara”ku sebagai dzikir (9). dan agar menjadikan “pandangan” ku untuk mengambil i’tibar. (HR. Razin)
Sembilan Wasiat (Nine Commandments) yang disampaikan Allah kepada RasulNya dan beliau sampaikan kepada umatnya ini, sungguh merupakan pedoman dan tuntunan hidup kita dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita mampu mengimplemetasi kannya dalam keseharian kita, sesuai kemampuan kita, insya Allah kita akan menjadi manusia yang “baik” di sisi Allah dan “terhormat” di mata makhluqNya. Kemudian mengingat terbatasnya ruang yang tersedia, dan mencermati kandungan isinya sekaligus untuk memudahkan ingatan, maka baiklah kita coba kelompokkan Sembilan Wasiat ini menjadi 3 (tiga) trilogi sebagai berikut :
1. Al-Ikhlash fis-Sirri wal ‘Alaniyah (Bersikap Ikhlas Secara Tersembunyi atau Terang-terangan)
Al-Ikhlas (sincerity, surrender) artinya memurnikan segalanya hanya untuk Allah semata, memulai segalanya dari Allah, melakukannya karena Allah dan mengakhirinya untuk Allah.. Lawan dari ikhlas adalah semua kondisi hati yang muncul dari maksud-maksud untuk selain Allah, seperti “riya’” (berbuat karena ingin dipuji orang) atau “ujub” (bangga dengan diri sendri, merasa diri paling baik) dan lain-lainnya. Riya dan ‘Ujub ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, Bahkan Rasulullah menganggap riya’ sebagai “syirik ashghor” (syirik terkecil) yang paling beliau takuti untuk menimpa umatnya, karena kebanyakan syirik –dalam segala bentuknya – memang bersumber dari riya’ .
Dalam hadits ini, Allah dan RasulNya menyuruh kita, untuk senantiasa bersikap “ikhlas” dalam segala kondisi; dimana dan kapan saja ; baik secara tersembunyi (sendirian, diam-diam, di tempat-tempat tertutup, tanpa diketahui orang) ataupun secara terang-terangan (ketika bersama orang lain atau di tempat-tempat terbuka). Ketika sendirian, barangkali kita bisa bersikap ikhlas dengan mudah, karena kita terhindar dari sifat riya’ atau pamer, walaupun kita harus tetap hati-hati dengan sifat ‘ujub yang seringkali muncul dalam hati, secara diam-diam. Namun ketika kita berada di tempat terbuka atau bersama orang-orang lain, seringkali kita kesulitan untuk bersikap ikhlas yang sebenarnya, karena penyakit-penyakit hati tersebut (terutama riya’) pada suasana yang demikian begitu mudah muncul di hati kita, tanpa kita sadari. Na’udzubillah.
2. Al-‘Adl fir-Ridho wal-Ghodhob (berlaku “adil”, dalam keadaan Rela atau Marah)
Al-‘Adl (justice, fairness) artinya bersikap seimbang, sama, fair, terhadap dua objek yang bertolak belakang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Lawan dari adil adalah “dholim” (injustice), yang berarti aniaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain serta sikap-sikap yang menjurus pada ketidak-adilan, seperti tirani, sewenang-wenang, memihak, merampas hak-hak orang lain, dan lain-lainnya. Dalam Islam, keadilan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dan merupakan “inti dari substansi” ajaran Islam, terutama dalam aspek kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai inti dari ajarannya, Islam tidaklah demikian. Kasih dalam kehidupan pribadi, apalagi sosial, bisa berdampak buruk dan negatif Sekedar contoh, seorang hakim seringkali tidak tega menghukum seorang penjahat, gara-gara dia kasih atau sayang kepada si penjahat tersebut, dengan berbagai latar belakangnya.. Jadi, keadilan yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya pasti mengandung kasih, Tapi kasih, apalagi yang berlebihan, justru seringkali bertolak belakang dengan keadilan dan rasa keadilan. Dalam hal ini, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu bersikap adil, hatta kepada diri sendiri, kepada ayah ibu, dan kepada keluarga dekat kita (QS, An-Nisa’, 4, 135). Bahkan kita diperintahakan untuk tetap bersikap adil kepada musuh-musuh kita, walaupun kita tidak suka kepada mereka (Al-Maidah, 5, 8): Subhanallah wa shodaqollah.
Dalam hadits ini, Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk senantiasa bersikap “adil” dalam segala situasi dan kondisi, kepada siapa dan kepada apa saja. : baik ketika kita sedang ridho (suka, senang, like) maupun ketika kita sedang ghodhob (marah, tidak suka, dislike). Sikap ridho/like, biasanya muncul karena adanya hubungan kekeluargaan atau persahabatan, karena punya interes tertentu, baik pribadi atau kelompok, bahkan bisa karena adanya unsur sogok menyogok (risywah). Sedangkan ghodhob/dislike, biasanya muncul karena adanya penyakit-penyakit dalam hati (ghillun fil qolb), seperti dendam, iri hati, hasud, dll. Berlaku adil dalam keadaan ridho “sama sulitnya” dengan berlaku adil dalam keadaan ghodhob Karena itu, seseorang yang sedang terlibat dalam suatu masalah, atau sedang dikuasai oleh nafsu “like or dislike”, sebaiknya tidak menjadi hakim yang memutuskan suatu masalah, karena bisa menjurus pada kedholiman dan ketidak adilan.
3. Al-Qoshd fil Ghina wal-Faqr (Bersikap “sederhana” dalam keadaan Kaya atau Miskin)
Al-Qosd (sederhana, simplicity) artinya bersikap apa adanya, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Lawan kata dari al-qoshd adalah (ta’addy, tajawuz, exceeding, overleap) artinya bersikap berlebihan atau melampaui batas-batas kebutuhan atau batas-batas kewajaran. Secara tersirat, dalam kata al-qoshd ini, sebenarnya terkandung makna “adil” yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Sekedar contoh, untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan tugas sehari-hari, sebenarnya kita hanya memerlukan 1 (satu) mobil, umpamanya.. Tapi karena kita kaya, kita justru membeli 3 atau 4 mobil sekaligus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat (artifisial). Dalam posisi ini, kita tidak lagi disebut sederhana. karena kita sudah melakukan pemborosan (tabdzir), bahkan kesombongan (takabbur) yang sangat tercela. Sebaliknya, apabila tanpa mobil, kita tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik, umpamanya, tapi kita tidak mau membelinya padahal kita mampu untuk itu, maka kita tidak lagi disebut sederhana tapi sudah menjurus ke derajat kikir atau bakhil. Dalam Al-Quran disebutkan : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan jangan pula mengulurkannya seulur-ulurnya (terlalu pemurah), sehingga kamu jadi tercela dan menyesal (Al-Isro’, 17. 19)
Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk bersikap “sederhana”, baik dalam keadaan kaya (berkecukupan, sedang berkuasa) ataupun miskin (berkekurangan, sedang tidak berkuasa) Dalam keadaan miskin, bersikap sederhana memang tidak terlalu sulit, karena dia memang miskin dan tidak mampu untuk bersikap berlebihan. Tapi harus disadari bahwa tidak sedikit orang yang miskin atau pas-pasan, namun cara hidupnya boros dan berlebih-lebihan. Inilah orang yang paling celaka, dalam konteks kesederhanaan itu, Sebaliknya dalam keadaan kaya, bersikap sederhana itu memang agak sulit, karena dengan kekayaan itu sebenarnya dia punya peluang untuk hidup berlebihan atau berfoya-foya. Tapi dengan penuh kesadaran, dia memilih untuk hidup sederhana dan menampakkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupannya Inilah sebenarnya orang yang paling arif dan bijaksana Kiranya tepatlah apa yang dikatakan para Ahli Hikmah : “Orang yang paling celaka adalah orang miskin yang hidupnya berfoya-foya, dan orang yang paling bijaksana adalah orang kaya yang hidupnya sederhana”. Jelasnya, sederhana itu bukan berarti pasrah atau menyerah pada nasib, tapi sederhana adalah pilihan sikap bathin yang bersumber dari kesadaran hati yang paling dalam dan mengandung semangat atau optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Demikianlah Trilogi Pertama (tiga hal yang saling terkait) dari “Sembilan Wasiat Allah dan RasulNya” kepada kita. Semoga bisa dilanjutkan dengan pembahasan tentang Trilogi II dan III, pada edisi-edisi berikutnya.
Ikhlas, Adil dan Sederhana memang merupakan suasana bathin yang harus melahirkan keyakinan dan komitmen yang kokoh dalam hati kita, tapi pada saat yang sama, kita harus bisa membuktikan ketiganya dalam prilaku dan budaya kita sehari-hari. Semuanya ini akan memiliki “nilai tambah” yang signifikan dan determinan, kalau bisa dilakukan oleh mereka yang saat ini sedang menerima amanat khusus dari Allah SWT, baik berupa amanat kekuasaan (Umaro’/Penguasa), atau berupa amanat ilmu pengetahuan (Ulama’/Cendikiawan), maupun yang berupa amanat kekayaan (Aghniya’/Hartawan), karena mereka inilah sebenarnya yang menjadi 3 pilar tegaknya kahidupan dunia ini, untuk mencapai kebahagian di akhirat nanti, selain dukungan, simpati dan doa-doa para Grass-Roots (Fuqoro’/Rakyat Kecil). Wallahu A’lam wa Ahkam
(dimuat dalam majalah Qalam ed. 4, Juli 2009)
..(0)..
Sembilan Wasiat (Nine Commandments) yang disampaikan Allah kepada RasulNya dan beliau sampaikan kepada umatnya ini, sungguh merupakan pedoman dan tuntunan hidup kita dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita mampu mengimplemetasi kannya dalam keseharian kita, sesuai kemampuan kita, insya Allah kita akan menjadi manusia yang “baik” di sisi Allah dan “terhormat” di mata makhluqNya. Kemudian mengingat terbatasnya ruang yang tersedia, dan mencermati kandungan isinya sekaligus untuk memudahkan ingatan, maka baiklah kita coba kelompokkan Sembilan Wasiat ini menjadi 3 (tiga) trilogi sebagai berikut :
1. Al-Ikhlash fis-Sirri wal ‘Alaniyah (Bersikap Ikhlas Secara Tersembunyi atau Terang-terangan)
Al-Ikhlas (sincerity, surrender) artinya memurnikan segalanya hanya untuk Allah semata, memulai segalanya dari Allah, melakukannya karena Allah dan mengakhirinya untuk Allah.. Lawan dari ikhlas adalah semua kondisi hati yang muncul dari maksud-maksud untuk selain Allah, seperti “riya’” (berbuat karena ingin dipuji orang) atau “ujub” (bangga dengan diri sendri, merasa diri paling baik) dan lain-lainnya. Riya dan ‘Ujub ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, Bahkan Rasulullah menganggap riya’ sebagai “syirik ashghor” (syirik terkecil) yang paling beliau takuti untuk menimpa umatnya, karena kebanyakan syirik –dalam segala bentuknya – memang bersumber dari riya’ .
Dalam hadits ini, Allah dan RasulNya menyuruh kita, untuk senantiasa bersikap “ikhlas” dalam segala kondisi; dimana dan kapan saja ; baik secara tersembunyi (sendirian, diam-diam, di tempat-tempat tertutup, tanpa diketahui orang) ataupun secara terang-terangan (ketika bersama orang lain atau di tempat-tempat terbuka). Ketika sendirian, barangkali kita bisa bersikap ikhlas dengan mudah, karena kita terhindar dari sifat riya’ atau pamer, walaupun kita harus tetap hati-hati dengan sifat ‘ujub yang seringkali muncul dalam hati, secara diam-diam. Namun ketika kita berada di tempat terbuka atau bersama orang-orang lain, seringkali kita kesulitan untuk bersikap ikhlas yang sebenarnya, karena penyakit-penyakit hati tersebut (terutama riya’) pada suasana yang demikian begitu mudah muncul di hati kita, tanpa kita sadari. Na’udzubillah.
2. Al-‘Adl fir-Ridho wal-Ghodhob (berlaku “adil”, dalam keadaan Rela atau Marah)
Al-‘Adl (justice, fairness) artinya bersikap seimbang, sama, fair, terhadap dua objek yang bertolak belakang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Lawan dari adil adalah “dholim” (injustice), yang berarti aniaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain serta sikap-sikap yang menjurus pada ketidak-adilan, seperti tirani, sewenang-wenang, memihak, merampas hak-hak orang lain, dan lain-lainnya. Dalam Islam, keadilan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dan merupakan “inti dari substansi” ajaran Islam, terutama dalam aspek kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai inti dari ajarannya, Islam tidaklah demikian. Kasih dalam kehidupan pribadi, apalagi sosial, bisa berdampak buruk dan negatif Sekedar contoh, seorang hakim seringkali tidak tega menghukum seorang penjahat, gara-gara dia kasih atau sayang kepada si penjahat tersebut, dengan berbagai latar belakangnya.. Jadi, keadilan yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya pasti mengandung kasih, Tapi kasih, apalagi yang berlebihan, justru seringkali bertolak belakang dengan keadilan dan rasa keadilan. Dalam hal ini, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu bersikap adil, hatta kepada diri sendiri, kepada ayah ibu, dan kepada keluarga dekat kita (QS, An-Nisa’, 4, 135). Bahkan kita diperintahakan untuk tetap bersikap adil kepada musuh-musuh kita, walaupun kita tidak suka kepada mereka (Al-Maidah, 5, 8): Subhanallah wa shodaqollah.
Dalam hadits ini, Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk senantiasa bersikap “adil” dalam segala situasi dan kondisi, kepada siapa dan kepada apa saja. : baik ketika kita sedang ridho (suka, senang, like) maupun ketika kita sedang ghodhob (marah, tidak suka, dislike). Sikap ridho/like, biasanya muncul karena adanya hubungan kekeluargaan atau persahabatan, karena punya interes tertentu, baik pribadi atau kelompok, bahkan bisa karena adanya unsur sogok menyogok (risywah). Sedangkan ghodhob/dislike, biasanya muncul karena adanya penyakit-penyakit dalam hati (ghillun fil qolb), seperti dendam, iri hati, hasud, dll. Berlaku adil dalam keadaan ridho “sama sulitnya” dengan berlaku adil dalam keadaan ghodhob Karena itu, seseorang yang sedang terlibat dalam suatu masalah, atau sedang dikuasai oleh nafsu “like or dislike”, sebaiknya tidak menjadi hakim yang memutuskan suatu masalah, karena bisa menjurus pada kedholiman dan ketidak adilan.
3. Al-Qoshd fil Ghina wal-Faqr (Bersikap “sederhana” dalam keadaan Kaya atau Miskin)
Al-Qosd (sederhana, simplicity) artinya bersikap apa adanya, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Lawan kata dari al-qoshd adalah (ta’addy, tajawuz, exceeding, overleap) artinya bersikap berlebihan atau melampaui batas-batas kebutuhan atau batas-batas kewajaran. Secara tersirat, dalam kata al-qoshd ini, sebenarnya terkandung makna “adil” yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Sekedar contoh, untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan tugas sehari-hari, sebenarnya kita hanya memerlukan 1 (satu) mobil, umpamanya.. Tapi karena kita kaya, kita justru membeli 3 atau 4 mobil sekaligus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat (artifisial). Dalam posisi ini, kita tidak lagi disebut sederhana. karena kita sudah melakukan pemborosan (tabdzir), bahkan kesombongan (takabbur) yang sangat tercela. Sebaliknya, apabila tanpa mobil, kita tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik, umpamanya, tapi kita tidak mau membelinya padahal kita mampu untuk itu, maka kita tidak lagi disebut sederhana tapi sudah menjurus ke derajat kikir atau bakhil. Dalam Al-Quran disebutkan : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan jangan pula mengulurkannya seulur-ulurnya (terlalu pemurah), sehingga kamu jadi tercela dan menyesal (Al-Isro’, 17. 19)
Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk bersikap “sederhana”, baik dalam keadaan kaya (berkecukupan, sedang berkuasa) ataupun miskin (berkekurangan, sedang tidak berkuasa) Dalam keadaan miskin, bersikap sederhana memang tidak terlalu sulit, karena dia memang miskin dan tidak mampu untuk bersikap berlebihan. Tapi harus disadari bahwa tidak sedikit orang yang miskin atau pas-pasan, namun cara hidupnya boros dan berlebih-lebihan. Inilah orang yang paling celaka, dalam konteks kesederhanaan itu, Sebaliknya dalam keadaan kaya, bersikap sederhana itu memang agak sulit, karena dengan kekayaan itu sebenarnya dia punya peluang untuk hidup berlebihan atau berfoya-foya. Tapi dengan penuh kesadaran, dia memilih untuk hidup sederhana dan menampakkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupannya Inilah sebenarnya orang yang paling arif dan bijaksana Kiranya tepatlah apa yang dikatakan para Ahli Hikmah : “Orang yang paling celaka adalah orang miskin yang hidupnya berfoya-foya, dan orang yang paling bijaksana adalah orang kaya yang hidupnya sederhana”. Jelasnya, sederhana itu bukan berarti pasrah atau menyerah pada nasib, tapi sederhana adalah pilihan sikap bathin yang bersumber dari kesadaran hati yang paling dalam dan mengandung semangat atau optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Demikianlah Trilogi Pertama (tiga hal yang saling terkait) dari “Sembilan Wasiat Allah dan RasulNya” kepada kita. Semoga bisa dilanjutkan dengan pembahasan tentang Trilogi II dan III, pada edisi-edisi berikutnya.
Ikhlas, Adil dan Sederhana memang merupakan suasana bathin yang harus melahirkan keyakinan dan komitmen yang kokoh dalam hati kita, tapi pada saat yang sama, kita harus bisa membuktikan ketiganya dalam prilaku dan budaya kita sehari-hari. Semuanya ini akan memiliki “nilai tambah” yang signifikan dan determinan, kalau bisa dilakukan oleh mereka yang saat ini sedang menerima amanat khusus dari Allah SWT, baik berupa amanat kekuasaan (Umaro’/Penguasa), atau berupa amanat ilmu pengetahuan (Ulama’/Cendikiawan), maupun yang berupa amanat kekayaan (Aghniya’/Hartawan), karena mereka inilah sebenarnya yang menjadi 3 pilar tegaknya kahidupan dunia ini, untuk mencapai kebahagian di akhirat nanti, selain dukungan, simpati dan doa-doa para Grass-Roots (Fuqoro’/Rakyat Kecil). Wallahu A’lam wa Ahkam
(dimuat dalam majalah Qalam ed. 4, Juli 2009)
..(0)..
Trilogi Kedua
Kalau pada edisi yang lalu, kita telah menguraikan Bagian I (Trilogi Pertama) dari Sembilan Wasiat Nabi SAW, yaitu agar kita bersikap “ikhlas” baik secara sembunyi–sembunyi atau terang-terangan, bersikap “adil” ketika marah atau ketika rela, dan bersikap “sederhana” dalam keadaan kaya atau miskin, maka dalam edisi kali ini akan kita lanjutan pada uraian selanjutnya, yaitu Bagian II (Trilogi Kedua) dari Sembilan Wasiat tersebut. yaitu:
1. Agar memaafkan orang yang mendholimi kita.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering kali didholimi (diperlakukan tidak adil atau tidak proporsional) oleh orang-orang lain di sekitar kita, baik langsung maupun tidak langsung, secara fisik atau non-fisik, material atau immaterial, oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, seperti para pejabat, penguasa, bos atau orang kaya, atau oleh orang yang sederajat dengan kita, seperti teman sekantor, seprofesi atau teman seorganisasi dll, atau bahkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, seperti anak kandung, anak buah. anak didik, dan lain-lainnya. Allah SWT lewat RasulNya SAW memerintahkan kita untuk memaafkan orang-orang tersebut.
2. Agar memberi kepada orang yang mencekal kita.
Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk makhlukNya, selain kewajiban yang harus dijalankan, kita juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Tapi kenyataannya, seringkali hak-hak tersebut tidak dipenuhi, dicekal, dirampas atau dikebiri oleh orang-orang lain di sekitar kita. Hak-hak tersebut bermacam-macam ; kadang berupa harta, pangkat atau jabatan, tapi juga bisa berupa pelayanan atau pemberian kesempatan. Perampasan atau pengebirian ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, baik lebih tinggi secara material ataupun lebih tinggi dalam status sosial dan hirarki organisatoris. Dalam konteks ini, kita diperintahkan oleh Allah SWT lewat RasulNya SAW untuk tetap memberi atau memenuhi hak-hak mereka, siapapun mereka dan apapun motif mereka mencekal kita.
3. Agar menyambung kembali tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.
Memutuskan tali silaturrahim biasanya dilakukan seseorang, karena adanya alasan-alasan tertentu atau bahkan tanpa alasan apapun. Alasan-alasan itupun bermacam-macm : ada yang jelas dan disengaja tapi ada juga yang sama sekali tidak diketahui dan tidak disengaja, ada yang menyangkut urusan ekonomi, jabatan, pengaruh dan politik. Ini sering terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari, tidak saja antar teman sejawat, bahkan juga sering terjadi antar orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.
Dalam konteks ini, kita diperintahkan Allah dan RasulNya agar terus berusaha untuk menyambung kembali tali silaturrahim tersebut.
Amma Ba’du….
Ketiga sikap tersebut (memaafkan orang yang mendholimi. memberi orang yang mencekal dan menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya) rasa-rasaya “sangat pas dan cocok” untuk para pemimpin atau calon-calon pemimpin kita–formal, nonformal atau informal- terutama pada saat persaingan antar kepentingan yang sangat ketat dan keras (kunkurensi) seperti sekarang ini. Memang sangat sulit ! Apalagi terhadap orang-orang yang memang jelas-jelas –atau kita anggap- “bersalah” kepada kita atau kepada orang yang kita anggap sebagai “musuh dan saingan” kita –terang-terangan atau dalam selimut-. Sungguh sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan? Tapi kita harus sadar bahwa semua itu bukan hal yang mustahil atau tidak mungkin, sebab Allah dan RasulNya tidak akan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan. “La yujakalliful Lah nafsan illa wus’aha” kata Allah.
Terus bagaimana caranya, agar kita mampu melaksanakan ketiga Wasiat Nabi SAW ini? Paling tidak, ada 5 langkah yang harus kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh dan istiqamah : Pertama, “Dzikrullah” Kita harus memulai upaya ini dengan mengingat dan menyebut asma Allah, agar Allah selalu mengingat kita. Kalau sudah begitu, pasti. kita akan selalu mendapat pertolongan, perlindungan dan pembelaan dari Allah. Firman Allah : “Fadzkuruni adzkurkum”. Kedua, “Haqqul Yaqin”. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah wasiat Allah dan RasulNya untuk kebaikan kita sendiri dan kita harus yakin bahwa kita pasti bisa melakukannya dengan taufiq dan ma’unah Allah. Kalau tidak yakin, kita tidak akan pernah bisa. “Man la ya’taqid la yantafi’”. Ketiga, “Husnudhdhon”. Kita harus selalu berbaik sangka terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita. Umpamanya, ketika didholimi, dicekal atau diputus tali silaturrohim, kita anggap saja mereka berbuat begitu, karena ketidaktahuan mereka terhadap diri dan kondisi kita yang sebenarnya. Keempat, “Muhasabah” (introspeksi). Kita harus selalu bertanya kepada diri sendiri dan menjawabnya dengan jujur, bahwa mereka melakukan hal–hal tersebut, mungkin karena memang bersumber dari kesalahan atau kelemahan kita, bukan semata-mata karena kejahatan dan keburukan mereka. Kelima. “Dzikrullah” Kita akhiri semua usaha ini dengan mengingat Allah kembali, dengan tasbih, tahmid, tamjid dan istighfar, dan lain-lainnya.. “Subahanakal Lahumma wa bihamdiKa. Asyhadu an la ilaha illa Anta, AstadghfiruKa wa atubu ilaiKa. SubahanaKa fa qina ‘adzaban nar”. Nah, Selamat Mencoba dan Memperhatikan kelima langkah ini. “Jarrib wa lahidh takun ‘arifan”.
Akhirnya…, perlu disadari bahwa semua sikap terhadap berbagai kedholiman dan ketidakadilan seperti yang disebutkan tadi, hanyalah apabila hal itu menyangkut hak-hak dan kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi apabila kedholiman dan ketidakadilan tersebut sudah menyangkut prinsip-prinsip agama atau kehormatan bangsa, tentu saja sikap kita harus berbeda. “Janganlah kita marah atau tersinggung, hanya karena urusan pribadi atau kelompok. Tapi marahlah dan tersinggunglah karena Allah, demi Allah dan untuk Allah semata.”. Wallahu A’lam wa Ahkam.
..(0)..
Trilogi Ketiga
Berikut ini adalah Trilogi Ketiga (Bagian Terakhir) dari Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang diwasiatkannya kepada kita umat Islam :
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir”
Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya. Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain.
Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir. Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)
2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali. (1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya (2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor (3) Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta (4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.
Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)
3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll. Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur.
Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar)
IKHTITAM
Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita. Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir”
Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya. Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain.
Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir. Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)
2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali. (1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya (2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor (3) Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta (4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.
Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)
3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll. Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur.
Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar)
IKHTITAM
Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita. Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.
Jalan Menuju Kesuksesan
![]() |
| K.H.M.Idris Djauhari |
Sebagai manusia kita harus berusaha untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecerdasan dan kepandaian yang dimiliki. Sehingga dengan demikian setiap manusia akan lebih mampu mengenal dirinya sendiri, mengenal potensi-potensi dan kemampuan yang ia miliki, sekaligus mengenal kelemahan dan juga kekurangannya.
Manusia yang mengetahui hakikat dirinya, kelebihan sekaligus kekurangannya, kemudian dibarenginya dengan akhlak yang mulia, akan membuat diri seseorang tersebut senantiasa berusaha memanfaatkan dan mensyukuri kelebihan-kelebihan yang ia miliki sekaligus menutupi semua kekurangan dirinya. Nah, manusia seperti inilah yang nantinya insya-Allah akan meraih kesuksesan dan kemenangan yang gemilang di setiap hidupnya.
Lantas apa hubungan antara intelektualitas dan kesuksesan? Di sinilah sebenarnya letak kelebihan intelektual manusia. Setiap orang harus menyadari potensi kecerdasan dirinya serta mampu menggunakan sekaligus menyikapinya.
Kesuksesan akan didapat jika seseorang telah memiliki syarat dasar yang mengantarkan dirinya pada kesuksesan. Dan, rata-rata orang yang tidak sukses adalah mereka yang tidak memiliki syarat dasar tersebut, yaitu tidak mengenal dirinya sendiri.
Banyak orang yang cerdas tapi tidak menyadari bahwa dirinya mempunyai kecerdasan yang lebih dari semua orang, sehingga kecerdasan itu dibiarkan tidak berkembang bahkan tak nampak sekalipun. Adapula yang menyadari kecerdasannya, tetapi dia malah sombong dan congkak atas kecerdasannya itu, sehingga dengan kebangggaan yang berlebihan, ia melupakan usaha-usaha yang akan mengantarkannya menjadi lebih cerdas. Inilah orang yang tidak akan mendapatkan an-najah selama hidupnya.
Sementara itu, manusia yang memiliki kelemahan, kurang cerdas dan kurang mampu menangkap ilmu Allah dengan cepat. Sebenarnya, manusia seperti ini, juga mempunyai potensi untuk menggapai kesuksesan, asalkan ia mampu menutupi kelemahan dan kekurangannya. Akan tetapi, jika manusia tersebut tidak menutupi kekurangannya itu, maka ia akan sama keberadaannya seperti contoh di atas.
Dalam menempuh jalan kesuksesan, setiap orang pada hakikatnya mampu menggapainya dalam setiap langkah hidupnya, namun tak jarang ia akan menuai kegagalan, entah itu orang-orang cerdas atau kurang cerdas. Tetapi, jalan kesuksesan biasanya akan lebih mudah diraih oleh orang-orang yang cerdas. Karena itu, bagi manusia yang kurang cerdas tidak perlu berkecil hati, sebab kesuksesan akan dapat kita dapatkan meskipun dilalui dengan banyak kegagalan yang merintangi.
Sebagai manusia yang senantiasa menginginkan kesuksesan, langkah pertama adalah kita harus mampu mengidentifikasi diri sendiri. Apakah kita termasuk orang-orang kategori pertama yang memiliki kecerdasan dan kelebihan dari manusia yang lain, ataukah kita termasuk kelompok yang kedua, kelompok yang mempunyai kecerdasan yang kurang dan tak memiliki kelebihan dari manusia yang lainnya.
Maka dari itu, manusia yang cerdas dengan kecerdasannya harus mampu menahan diri dari sifat sombong dan mempunyai kemampuan untuk mengembangkannya menjadi lebih cerdas hingga pada tingkat yang paling optimal. Sedangkan bagi setiap manusia yang kurang cerdas, tidak boleh berputus asa, karena keadaan ini adalah kondisi awal dari setiap orang. Apabila ia mampu secara konsisten menjauhkan dirinya dari sifat keputusasaan itu, insya-Allah, ia akan menuai kesuksesan dalam hidupnya. Bisa jadi, kesuksesan yang diraihnya melebihi orang-orang yang lebih cerdas. Tentu, dalam batas-batas tertentu.
Antara Iman,Ilmu dan Amal (Refleksi Pemikiran K.H.M.Idris Djauhari. Al Amien Prenduan Madura)
![]() |
| K.H.M.Idris Djauhari |
Jadi, amal yang ikhlas itu merupakan amal perbuatan yang berangkat dari keyakinan semata-mata karena Allah, bukan karena niat-niat lain yang ada di balik itu. Ciri dari sebuah perbuatan atau amal yang ikhlas adalah apabila ia dilakukan dengan cara yang terbaik (the best). Manusia yang berangkat dari niat yang benar, ikhlas kepada Allah kemudian dia mengetahui ilmu yang berhubungan dengan perbuatannya itu, pasti dia akan melakukan yang terbaik di dalam hidupnya.
Orang yang beramal atau bekerja seenaknya, berbuat ala kadarnya, melakukan sesuatu karena ingin dipuji orang bukan karena Allah, biasanya selalu melakukan perbuatannya itu tanpa dilandasi keyakinan dan kepercayaan yang utuh.
Demikian juga, ketika seseorang beramal atau berbuat sesuatu tanpa atas dasar ilmu yang benar, tidak didasarkan kepada teori-teori atau syariat-syariat yang telah ditetapkan, tanpa memenuhi syarat dan rukun dari pekerjaan itu. Pasti pekerjaannya itu tidak menghasilkan sesuatu yang terbaik. Mana mungkin seseorang bisa berbuat atau beramal baik, kalau dia tidak tahu ilmunya, pasti perbuatannya itu akan penuh dengan kesalahan-kesalahan.
Karena itu dalam melakukan apa saja, terutama yang berhubungan dengan agama Islam, baik dalam hubungan kita dengan Allah atau dengan sesama manusia serta alam ini. Maka kita harus berangkat dari sebuah keyakinan terlebih dahulu, keikhlasan dan ketulusan semata-mata karena Allah, tetapi pada saat yang sama kita melakukannya atas dasar ilmu yang telah kita miliki itu. Inilah makna dari amal yang ikhlas, maka ketika Allah menegaskan bahwa kita ini diberi hidup dan mati untuk menguji kita siapa di antara kita yang paling baik amal perbuatannya, amal ibadahnya.
Allah berfirman, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ’amala”. Kita harus artikan bahwa perbuatan yang paling baik itu adalah perbuatan yang berangkat dari niat yang ikhlas dan berdasarkan ilmu yang benar. Niat yang ikhlas saja tanpa ilmu pasti menimbulkan kesalahan-kesalahan, ilmu saja tanpa niat yang ikhlas pasti akan menyimpang dari nilai-nilai kebenaran. Karenanya, mengamalkan apa saja yang menjadi ajaran Islam yang kita yakini itu, harus berangkat dari kepercayaan dan keikhlasan yang ada di dalam hati kita, kemudian dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada di otak kita.
Ada tiga unsur utama yang harus ada di dalam sikap kita terhadap agama, yaitu iman, ilmu, dan amal. Maka, akan tidak ada artinya keyakinan kalau tidak ada amal perbuatan, tidak ada artinya ilmu yang kita punya kalau tidak melahirkan amal-amal sholeh dalam kehidupan kita, bahkan naudzubillah ilmu yang tidak bermanfaat. Justru akan menjadi bumerang yang menghancurkan diri kita dan orang-orang lain di sekitar kita.
Lalu, bagaimana kita menggabungkan tiga hal tersebut? Apakah kita harus percaya dulu, kemudian belajar lalu beramal? Bukanlah itu cara yang harus kita tempuh, melainkan antara keyakinan, ilmu pengetahuan dan amal perbuatan haruslah diupayakan secara bersamaan, karena ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Ketiga prinsip dasar itu harus senantiasa kita asah, kita perbaiki setiap saat, agar kita dalam melakukan sesuatu, benar-benar berangkat dari keyakinan dan berdasarkan ilmu pengetahuan. Dari keyakinan kita melahirkan dorongan untuk selalu belajar-belajar dan berbuat sesuatu dengan ilmu yang kita punya itu.
Inilah tiga hal yang harus senantiasa dijadikan prinsip dalam hidup kita, yaitu antara iman, ilmu dan amal, antara keikhlasan dalam hati, kecerdasan dalam otak dan ketulusan di dalam beramal.
Lima Perkara yang Harus Dihindari (Refleksi Pemikiran K.H.M.Idris Djauhari.Al Amien Prenduan Madura)
Dari Anas bin Malik r.a. berkata: setiap Rasululullah saw. selesai melakukan shalat jama’ah bersama kami, beliau selalu menghadap kami dan tidak sekalipun meninggalkan doa ini: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘perbuatan yang menghinakan’ aku.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘kawan yang menyakitkan’ aku.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘angan-angan yang melalaikan’ aku.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘kefakiran yang menyebabkan aku lupa’.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘kekayaan yang menjerumuskan’ aku.”
(HR Al-Bazzar dalam kitab Mujma’ az-Zawaid Lil-Haitsami)
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita berdzikir dan berdoa kepada Allah swt. Ada kalanya disebutkan dalam bentuk dzikir dan doa yang diucapkan oleh para nabi, rasul dan sholihin terdahulu, ketika menghadapi situasi-situasi tertentu. Ada juga doa dan dzikir yang bersifat umum, kemudian dijelaskan oleh Rasulullah saw fadhilah doa tersebut. Demikian juga dalam hadits, banyak sekali disebutkan, bahwa Rasulullah saw seringkali mengajarkan kepada para sahabat r.a. doa dan dzikir untuk diamalkan pada situasi-situasi tertentu, atau untuk diamalkan secara umum, seperti doa yang disebutkan pada awal makalah ini.
Dalam hadits tersebut, ada lima hal yang seharusnya kita mohon kepada Allah swt. agar kita terhindar darinya. Tentu saja pada saat yang sama, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk selalu menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
Perbuatan yang Menghinakan
Perbuatan yang menghinakan adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya “hina dan tercela” di mata Allah dan di mata manusia. Biasanya perbuatan ini disebut “fahisyah atau fawahisy” (perbuatan keji) yang tergolong “kaba-ir” (dosa-dosa besar). Perbuatan ini selalu menimbulkan kerugian kepada orang lain serta meninggalkan dampak-dampak sosial yang sangat negatif dan berbahaya, seperti zina, minuman keras, main judi, bergunjing (ghibah), mencuri, merampok, dll. atau yang biasa kita kenal sekarang dengan prostitusi, pornografi, pornoaksi, pelecehan seksual, melakukan kebohongan publik (buhtan), korupsi, kolusi dan nepotisme, memprovokasi, black campaign (fitnah), dll.
Kawan yang Menyakitkan
Menyakitkan bisa saja terjadi secara fisik, seperti memukul, mencederai, atau mencuri hak milik kita. Tapi bisa juga menyangkut harga diri dan kehormatan diri kita, seperti berkhianat, menohok dari belakang, menyebarkan buhtan atau fitnah, dll. Kalau semua itu dilakukan oleh “musuh” kita, tentu saja hal yang wajar, karena dia memang musuh kita, tapi kalau ini dilakukan oleh “kawan” yang selama ini menjadi patner kita dalam suka dan duka, menjadi mitra kita dalam berbagai usaha dan bidang kehidupan, tentu saja ini sangat menyakitkan.
Angan-angan yang Melalaikan
Setiap manusia normal pasti memiliki keinginan, obsesi atau ambisi. Ini adalah wajar dan manusiawi. Tetapi begitu obsesi atau ambisi tersebut muncul dari dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali, maka ia akan menjadi masalah serius yang sangat berbahaya. Inilah boleh jadi yang dimaksud “melalaikan” dalam hadits ini. Sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seseorang atau kelompok memiliki ambisi yang tak terkendali untuk kaya, berkuasa, menang, atau untuk meraih dukungan massa, umpamanya, karena ambisi yang tidak terkendali, sampai-sampai dia menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisinya tersebut.
Kemiskinan yang Menyebabkan Lupa
Kemiskinan yang menyebabkan lupa adalah kemiskinan yang menyebabkan kita “serba tergantung” kepada orang atau makhluk yang lain, baik dalam bidang ekonomi, keamanan, kesehatan, budaya, pendidikan, dll. Ketergantungan (interdipendensi) inilah yang sangat berbahaya dalam kehidupan pribadi atau kelompok. Bahkan ada ulama yang berpendapat bahwa ketergantungan kepada makhluk adalah “awal dari syirik”, karena seseorang yang sangat tergantung kepada makhluk, pada hakikatnnya dia telah menafikan—atau paling tidak menyekutukan—Sang Khaliq, Allah swt. yang Mahakaya dan Berkuasa. Na’udzu billah min dzalik.
Kekayaan yang Menjerumuskan
Pada hakikatnya, kekayaan—sama dengan kemiskinan—adalah salah satu bentuk “ujian” dari Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya. Kalau si pemilik kekayaan lulus dalam ujian ini, maka dengan kekayaannya tersebut, dia akan lebih dekat kepada Allah, Sang Pemberi Kekayaan. Tetapi, apabila tidak lulus, maka dengan kekayaannya tersebut, dia justru akan semakin jauh dari Allah. Hal yang terakhir ini terjadi, karena dua sebab. Pertama, bisa karena proses pengumpulannya memang menyimpang atau tidak sesuai dengan syara’, atau, kedua bisa juga karena sifat tama’ dan kikir yang berlebihan yang melekat dalam dirinya. Inilah barangkali yang dimaksudkan dengan “menjerumuskan’ dalam hadits ini. Padahal kelak di akhirat, orang yang memiliki kekayaan akan ditanya oleh Allah, dari mana dan bagaimana dia memperoleh kekayaan tersebut dan untuk apa saja dia menafkahkannya.
Demikianlah lima hal yang seharusnya kita mohon kepada Allah agar tidak sampai menimpa diri kita, karena kelima hal tersebut sungguh sangat berbahaya dan membahayakan bagi kehidupan kita, baik secara pribadi, dalam keluarga ataupun dalam berbangsa dan bermasyarakat. Tetapi doa tersebut harus sesuai dan sejalan dengan usaha yang kita lakukan. Tidak boleh berseberangan apagi bertentangan. Bagaimana doa kita akan dikabulkan (ijabah), jika kita tidak berusaha sesuai dengan apa yang kita minta (istijabah)? Memang antara ijabah dan istijabah terdapat benang halus yang saling melengkapi. Mari kita renungkan kemudian amalkan.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘kawan yang menyakitkan’ aku.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘angan-angan yang melalaikan’ aku.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘kefakiran yang menyebabkan aku lupa’.
Dan aku berlindung kepada-Mu dari segala ‘kekayaan yang menjerumuskan’ aku.”
(HR Al-Bazzar dalam kitab Mujma’ az-Zawaid Lil-Haitsami)
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita berdzikir dan berdoa kepada Allah swt. Ada kalanya disebutkan dalam bentuk dzikir dan doa yang diucapkan oleh para nabi, rasul dan sholihin terdahulu, ketika menghadapi situasi-situasi tertentu. Ada juga doa dan dzikir yang bersifat umum, kemudian dijelaskan oleh Rasulullah saw fadhilah doa tersebut. Demikian juga dalam hadits, banyak sekali disebutkan, bahwa Rasulullah saw seringkali mengajarkan kepada para sahabat r.a. doa dan dzikir untuk diamalkan pada situasi-situasi tertentu, atau untuk diamalkan secara umum, seperti doa yang disebutkan pada awal makalah ini.
Dalam hadits tersebut, ada lima hal yang seharusnya kita mohon kepada Allah swt. agar kita terhindar darinya. Tentu saja pada saat yang sama, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk selalu menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
Perbuatan yang Menghinakan
Perbuatan yang menghinakan adalah perbuatan yang menyebabkan pelakunya “hina dan tercela” di mata Allah dan di mata manusia. Biasanya perbuatan ini disebut “fahisyah atau fawahisy” (perbuatan keji) yang tergolong “kaba-ir” (dosa-dosa besar). Perbuatan ini selalu menimbulkan kerugian kepada orang lain serta meninggalkan dampak-dampak sosial yang sangat negatif dan berbahaya, seperti zina, minuman keras, main judi, bergunjing (ghibah), mencuri, merampok, dll. atau yang biasa kita kenal sekarang dengan prostitusi, pornografi, pornoaksi, pelecehan seksual, melakukan kebohongan publik (buhtan), korupsi, kolusi dan nepotisme, memprovokasi, black campaign (fitnah), dll.
Kawan yang Menyakitkan
Menyakitkan bisa saja terjadi secara fisik, seperti memukul, mencederai, atau mencuri hak milik kita. Tapi bisa juga menyangkut harga diri dan kehormatan diri kita, seperti berkhianat, menohok dari belakang, menyebarkan buhtan atau fitnah, dll. Kalau semua itu dilakukan oleh “musuh” kita, tentu saja hal yang wajar, karena dia memang musuh kita, tapi kalau ini dilakukan oleh “kawan” yang selama ini menjadi patner kita dalam suka dan duka, menjadi mitra kita dalam berbagai usaha dan bidang kehidupan, tentu saja ini sangat menyakitkan.
Angan-angan yang Melalaikan
Setiap manusia normal pasti memiliki keinginan, obsesi atau ambisi. Ini adalah wajar dan manusiawi. Tetapi begitu obsesi atau ambisi tersebut muncul dari dorongan hawa nafsu yang tidak terkendali, maka ia akan menjadi masalah serius yang sangat berbahaya. Inilah boleh jadi yang dimaksud “melalaikan” dalam hadits ini. Sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana seseorang atau kelompok memiliki ambisi yang tak terkendali untuk kaya, berkuasa, menang, atau untuk meraih dukungan massa, umpamanya, karena ambisi yang tidak terkendali, sampai-sampai dia menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisinya tersebut.
Kemiskinan yang Menyebabkan Lupa
Kemiskinan yang menyebabkan lupa adalah kemiskinan yang menyebabkan kita “serba tergantung” kepada orang atau makhluk yang lain, baik dalam bidang ekonomi, keamanan, kesehatan, budaya, pendidikan, dll. Ketergantungan (interdipendensi) inilah yang sangat berbahaya dalam kehidupan pribadi atau kelompok. Bahkan ada ulama yang berpendapat bahwa ketergantungan kepada makhluk adalah “awal dari syirik”, karena seseorang yang sangat tergantung kepada makhluk, pada hakikatnnya dia telah menafikan—atau paling tidak menyekutukan—Sang Khaliq, Allah swt. yang Mahakaya dan Berkuasa. Na’udzu billah min dzalik.
Kekayaan yang Menjerumuskan
Pada hakikatnya, kekayaan—sama dengan kemiskinan—adalah salah satu bentuk “ujian” dari Allah swt. kepada hamba-hamba-Nya. Kalau si pemilik kekayaan lulus dalam ujian ini, maka dengan kekayaannya tersebut, dia akan lebih dekat kepada Allah, Sang Pemberi Kekayaan. Tetapi, apabila tidak lulus, maka dengan kekayaannya tersebut, dia justru akan semakin jauh dari Allah. Hal yang terakhir ini terjadi, karena dua sebab. Pertama, bisa karena proses pengumpulannya memang menyimpang atau tidak sesuai dengan syara’, atau, kedua bisa juga karena sifat tama’ dan kikir yang berlebihan yang melekat dalam dirinya. Inilah barangkali yang dimaksudkan dengan “menjerumuskan’ dalam hadits ini. Padahal kelak di akhirat, orang yang memiliki kekayaan akan ditanya oleh Allah, dari mana dan bagaimana dia memperoleh kekayaan tersebut dan untuk apa saja dia menafkahkannya.
Demikianlah lima hal yang seharusnya kita mohon kepada Allah agar tidak sampai menimpa diri kita, karena kelima hal tersebut sungguh sangat berbahaya dan membahayakan bagi kehidupan kita, baik secara pribadi, dalam keluarga ataupun dalam berbangsa dan bermasyarakat. Tetapi doa tersebut harus sesuai dan sejalan dengan usaha yang kita lakukan. Tidak boleh berseberangan apagi bertentangan. Bagaimana doa kita akan dikabulkan (ijabah), jika kita tidak berusaha sesuai dengan apa yang kita minta (istijabah)? Memang antara ijabah dan istijabah terdapat benang halus yang saling melengkapi. Mari kita renungkan kemudian amalkan.
Refleksi Pemikiran K.H.M.Idris Djauhari (al Amien)
Diriwayatkan dari Ali k.w. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling saya takutkan terhadap kalian adalah menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun menuruti hawa nafsu dapat menghalangi dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan artinya sama dengan mencintai dunia.”
(HR Ibnu Abi-d Dunya)
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Sebagian mereka kini terjangkiti virus menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Dua virus yang bisa membunuh kepribadian bangsa dan menyebabkan kondisi kehidupan bangsa terus terpuruk.(HR Ibnu Abi-d Dunya)
Mega skandal Bank Century yang menilap uang negara sebesar 6,7 triliun menjadi bukti konkret bagaimana virus hawa nafsu telah menutup mata para petinggi negara ini dari kebenaran. Apa pun alasan yang dikemukakan, terutama untuk menyelematkan ekonomi bangsa ini. Sebenarnya hanya sekadar untuk menutup-nutupi fakta yang sesungguhnya. Apalagi bukti-bukti faktual menyatakan adanya tindak merugikan negara dan rakyat dalam kebijakan penyelamatan bank ini. Tapi, kebenaran tetaplah nyata. Ia tidak bisa ditutup-tutupi dengan apa pun, termasuk oleh para petinggi negara.
Virus lainnya yang menjangkiti bangsa ini adalah panjang angan-angan. Mimpi menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju, sejahtera, dan makmur menjadi sebuah utopia bila diukur dengan etos kerja masyarakatnya yang pemalas, mudah putus asa dan cepat puas diri.
Masyarakat Indonesia adalah tipe masyarakat yang hanya berpijak pada angan-angan, dan bukan pada kreativitas sebagai landasan hidupnya. Akibatnya, bangsa ini tidak mampu mengelola kekayaan alamnya yang luar biasa dan cenderung menjadi “tamu” di negerinya sendiri. Lahirlah berbagai bentuk penjajahan baru, terutama di bidang ekonomi dan kebudayaan. Tangan asing kini begitu kuat mencengkram pundak bangsa Indonesia.
Dua virus di atas—menuruti hawa nafsu dan panjang angan-angan—termasuk dua perkara yang paling Rasulullah takutkan terjadi pada umatnya. Umat Islam yang diserang virus ini, mereka akan merasa kekal selamanya di dunia. Ini sangat bahaya dan membahayakan.
Jerat Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah musuh bersama. Karena itu, memeranginya termasuk “jihad akbar” yang sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar.” Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Peperangan melawan hawa nafsu.” (HR Al Baihaqi).
Kenapa hawa nafsu mesti diperangi? Karena hawa nafsu bisa memalingkan seseorang dari kebenaran. Seorang anggota kepala daerah misalnya, dia tidak lagi akan memperjuangkan nasib rakyat, kalau orientasinya di pemerintahan hanya untuk mengembalikan modal politik yang jumlahnya miliaran rupiah yang dikeluarkan selama masa kampanye. Mustahil dia bisa mengembalikan uang itu, kecuali dengan cara korupsi. Nafsu kekuasaan pasti akan menutupi mata batin kepala daerah tersebut sebagai pelayan masyarakat.
Peperangan hawa nafsu adalah jenis peperangan batin. Hal ini berbeda dengan peperangan secara face to face melawan musuh yang secara fisik nampak di depan mata. Kita bisa menembaknya dengan mudah. Kalau nafsu itu berada di luar jasa kita dan bisa kita pegang, mudahlah kita membunuhnya hingga mati. Tetapi nafsu kita itu mengakar di dalam diri kita, mengalir bersama aliran darah dan menguasai seluruh tubuh kita. Karena itu, tanpa kesadaran dan kemauan yang sungguh-sungguh kita pasti dikalahkan untuk diperalat sekehendaknya.
Memerangi hawa nafsu berarti memerangi penyakit hati seperti riya’, ujub, cinta dunia, gila pangkat, gila harta, banyak bicara, banyak makan, hasad, dengki, ego, dendam, buruk sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, tamak, serakah, bakhil, sombong dan sifat destruktif lainnya. Sifah-sifat itu melekat kuat dalam hati.
Satu-satunya cara membersihkannya adalah dengan memerangi sifat-sifat destruktif tersebut hingga ke akar-akarnya. Kita perlu mencuci hati setiap detik dengan dzikrullah tiada henti. Kalau kita malas mencucinya maka sifat-sifat itu akan semakin kuat dan menebal pada hati kita. Pada akhirnya akan menjadi penyakit. Sebaliknya, kalau kita mencuci setiap saat, maka hati akan bersih dan jiwa akan suci.
Nafsu itulah yang lebih jahat dari setan. Setan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah ‘highway‘ atau jalan bebas hambatan untuk setan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah ‘highway‘ setan untuk membunuh manusia dari dalam.
Kalau nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan setan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat. “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan.” (QS Yusuf: 53)
Selain memerangi, jalan lain yang mesti ditempuh adalah mengendalikan hawa nafsu dengan akal sehat dan hati yang jernih. Hawa nafsu yang dikendalikan akan berubah fungsi sebagai penggerak tingkah laku yang menyuburkan lahirnya motivasi internal yang sangat kuat, sehingga hidup lebih bermakna dan bernilai. Dalam kondisi demikian, hawa nafsu seperti energi yang akan selalu menggerakkan mesin untuk tetap hidup dan dinamis. Keseimbangan itu menjadikan orang mampu menekan dorongan hawa nafsu pada saatnya harus ditekan (seperti rem mobil), dan memberinya hak sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.
Karenanya, keinginan menjadi bupati, anggota DPR, orang kaya, miliader atau konglomerat dan lainnya adalah dorongan nafsu yang wajar. Menjadi tidak wajar apabila keinginan itu dituruti tanpa kendali moral. Nah, jika dorongan hawa nafsu dituruti tanpa kendali moral, maka ia berubah menjadi dorongan hawa nafsu yang bersifat destruktif. Ingin kaya dengan cara korupsi atau menipu, ingin menjadi pejabat dengan cara menyuap. Itu semua ujungnya pasti destruktif.
Pengabdi hawa nafsu akan menuruti apa pun perilaku yang harus dikerjakan, betapapun itu menjijikkan. Jika orang memanjakan hawa nafsu dapat terjerumus pada glamourism dan hedonis, maka orang yang selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya pasti akan terjerumus pada kriminalitas dan kenistaan, terutama menistakan Allah. Naudzubilâh.
Panjang Angan-Angan
Panjang angan-angan sama dengan mencintai dunia. Orang yang terserang penyakit panjang angan-angan senantiasa membayangkan dirinya akan abadi di dunia. Tidak ada kehidupan yang kekal abadi, kecuali di dunia. Sikap seperti inilah yang kemudian melahirkan manusia yang gila dunia. Dunia baginya adalah segalanya. Tidak ada hidup tanpa dunia. Sikap seperti ini, sungguh sangat membahayakan, terlebih bagi seorang muslim.
Panjang angan-angan akan menyebabkan manusia berambisi memiliki sebanyak mungkin harta dan kekayaan. Tidak peduli sumber dan caranya haram. Yang penting bisa menikmati kekayaan itu. Kalau perlu, ia akan melakukan tindakan monopoli dan oligopoli dengan cara menyingkirkan orang lain secara jahat dan licik.
Ciri lain orang yang panjang angan-angan adalah tidak pernah puas (qanaah) dengan apa yang sudah dimilikinya. Apabila orang itu sudah memiliki sepeda motor, maka ia berambisi memiliki mobil. Apabila sudah memiliki mobil, ia ingin memiliki pesawat terbang. Begitu seterusnya.
Orang dengan karakter seperti ini, senantiasanya menjadikan benda-benda sebagai barometer kesuksesannya. Semakin banyak benda-benda yang dimiliki, semakin ia merasa sukses. Padahal benda-benda itu sesungguhnya akan membuat dia pikun. Mata hatinya buta. Semakin jauh dari Allah. Dan, Allah akan membinasakannya. Cepat ataupun lambat.
Rasulullaah saw. bersabda, “Anak cucu Adam itu bisa menjadi pikun, dan ada dua hal yang menyertainya, yakni keserakahan dan angan-angan.” (HR Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan: “…dan ada dua hal bersamanya yang tetap muda, yaitu keserakahan terhadap harta dan keserakahan terhadap usia.” Lalu, Rasulullah saw. berkata, “Golongan pertama dari umat ini selamat karena keyakinan dan zuhud. Dan golongan terakhir dari umat ini binasa karena kekikiran dan angan-angan.” (HR Ibnu Abi-d Dunya).
Karena itu, tidak ada gunanya kita mengejar angan-angan. Semakin dikejar, angan-angan itu akan semakin menjauh, akhirnya menghilang. Mengejar angan-angan berarti mengejar ketidakpastian. Itu sama artinya dengan menjauh dari Allah. Lebih baik, kita habiskan hari-hari dalam rangkai perjalanan hidup yang singkat ini untuk beribadah kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kepastian hidup. Semakin jauh kita dari Allah, maka semakin jauh pula janji kebahagiaan yang akan Dia berikan kepada kita, terutama setelah kita hidup di akhirat kelak.
Suatu ketika, Rasulullaah bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?” Para sahabat menjawab, ‘Tentu yaa Rasulullaah. Beliau lalu bersabda, “Kalau begitu jangan banyak angan-angan. Letakkan ajal kalian di depan mata. Dan merasa malulah kepada Allah dengan sungguh-sungguh.” (HR Ibnu Abi-d Dunya)
Secara eksplisit, hadits di atas menjelaskan tentang larangan banyak angan-angan dan senantiasa meletakkan ajal di depan mata. Artinya, kapan pun ajal akan segera menemui kita. Di sinilah pentingnya kita meneguhkan prinsip bahwa sebetulnya semua benda-benda duniawi yang kita miliki adalah titipan Allah untuk dimanfaatkan dalam koridor kepentingan Allah dan bermuara kepada Allah. Ketika kita bekerja di dunia, sesungguhnya kita sedang menyiapkan diri untuk dijemput Allah. Kapan dan di manapun kita berada.
Marilah kita berdoa sebagaimana Rasulullaah saw. berdoa, :“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dunia yang dapat menghalangi kebajikan akhirat. Aku berlindung kepada-Mu dari hidup yang dapat menghalangi dari sebaik-baik kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang dapat menghalangi sebaik-baik amal.” (HR Ibnu Abi-d Dunya)
Akhirnya, tidak ada pilihan lain kalau kita mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, kecuali kita mampu mengendalikan hawa nafsu dan mengubur angan-angan yang menipu. Semoga kita dijauhkan oleh Allah dari kesenangan hidup dunia yang penuh tipu daya dan angan-angan belaka. Amin.
Prenduan, 31 Maret 2010
Rabu, 18 Agustus 2010
ADAB PUASA
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya puasa tidak sempurna kecuali dengan merealisasikan enam perkara:
Ya Allah, jadikanlah kami dan segenap umat Islam termasuk orang yang puasa pada bulan ini, yang pahalanya sempurna, yang mendapatkan Lailatul Qadar, dan beruntung menerima hadiah dari Tuhan; wahai Dzat Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk- Nya), wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan segenap sahabatnya.
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu-, bahwasanya puasa tidak sempurna kecuali dengan merealisasikan enam perkara:
- Menundukkan pandangan serta menahannya dari pandangan-pandangan liar yang tercela dan dibenci.
- Menjaga lisan dari berbicara tak karuan, menggunjing, mengadu domba dan dusta.
- Menjaga pendengaran dari mendengarkan setiap yang haram atau yang tercela.
- Menjaga anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa.
- Hendaknya tidak memperbanyak makan.
- Setelah berbuka, hendaknya hatinya antara takut dan harap. Sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima, sehingga ia termasuk orang-orang yang dekat kepada Allah, ataukah ditolak, sehingga ia termasuk orang-orang yang dimurkai. Hal yang sama hendaknya ia lakukan pada setiap selesai melakukan ibadah.
Ya Allah, jadikanlah kami dan segenap umat Islam termasuk orang yang puasa pada bulan ini, yang pahalanya sempurna, yang mendapatkan Lailatul Qadar, dan beruntung menerima hadiah dari Tuhan; wahai Dzat Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk- Nya), wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan segenap sahabatnya.
PETUNJUK NABI DALAM BERPUASA
Petunjuk puasa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah petunjuk yang paling
sempurna, paling mengena dalam mencapai maksud, serta paling mudah penerapannya
bagi segenap jiwa.
Di antara petunjuk puasa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Ramadhan
adalah :
Memperbanyak melakukan berbagai macam ibadah. Jibril'alaihis salam senantiasa
membacakan Al-Qur'anul Karim untuk beliau pada bulan Ramadhan; beliau juga
memperbanyak sedekah, kebajikan, membaca Al-Qur'anul Karim, shalat, dzikir, i'tikaf dan
bahkan beliau mengkhususkan beberapa macam ibadah pada bulan Ramadhan, hal yang
tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lain.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyegerakan berbuka dan menganjurkan demikian,
beliau makan sahur dan mengakhirkannya, serta menganjurkan dan memberi semangat
orang lain untuk melakukan hal yang sama. Beliau menghimbau agar berbuka dengan
kurma, jika tidak mendapatkannya maka dengan air.
Nabi'shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang yang berpuasa dari ucapan keji dan caci-
maki. Sebaliknya beliau memerintahkan agar ia mengatakan kepada orang yang
mencacinya, "Sesungguhnya aku sedang puasa."
Jika beliau melakukan perjalanan di bulan Ramadhan, terkadang beliau meneruskan
puasanya dan terkadang pula berbuka. Dan membiarkan para sahabatnya memilih antara
berbuka atau puasa ketika dalam perjalanan. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pernah
mendapatkan fajar dalam keadaan junub sehabis menggauli isterinya maka beliau segera
mandi setelah terbit fajar dan tetap berpuasa.
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah membebaskan dari qadha'
puasa bagi orang yang makan atau minum karena lupa, dan bahwasanya Allahlah yang
memberinya makan dan minum.
Dan dalam riwayat shahih disebutkan bahwa beliau bersiwak dalam keadaan puasa. Imam
Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuangkan air
di atas kepalanya dalam keadaan puasa. Beliau juga melakukan istinsyaq (menghirup air ke
dalam hidung) serta berkumur dalam keadaan puasa. Tetapi beliau melarang orang
berpuasa melakukan istinsyaq secara berlebihan. (Lihat kitab Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khairil
'Ibaad, I/320-338 )
sempurna, paling mengena dalam mencapai maksud, serta paling mudah penerapannya
bagi segenap jiwa.
Di antara petunjuk puasa dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada bulan Ramadhan
adalah :
Memperbanyak melakukan berbagai macam ibadah. Jibril'alaihis salam senantiasa
membacakan Al-Qur'anul Karim untuk beliau pada bulan Ramadhan; beliau juga
memperbanyak sedekah, kebajikan, membaca Al-Qur'anul Karim, shalat, dzikir, i'tikaf dan
bahkan beliau mengkhususkan beberapa macam ibadah pada bulan Ramadhan, hal yang
tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lain.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyegerakan berbuka dan menganjurkan demikian,
beliau makan sahur dan mengakhirkannya, serta menganjurkan dan memberi semangat
orang lain untuk melakukan hal yang sama. Beliau menghimbau agar berbuka dengan
kurma, jika tidak mendapatkannya maka dengan air.
Nabi'shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang yang berpuasa dari ucapan keji dan caci-
maki. Sebaliknya beliau memerintahkan agar ia mengatakan kepada orang yang
mencacinya, "Sesungguhnya aku sedang puasa."
Jika beliau melakukan perjalanan di bulan Ramadhan, terkadang beliau meneruskan
puasanya dan terkadang pula berbuka. Dan membiarkan para sahabatnya memilih antara
berbuka atau puasa ketika dalam perjalanan. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pernah
mendapatkan fajar dalam keadaan junub sehabis menggauli isterinya maka beliau segera
mandi setelah terbit fajar dan tetap berpuasa.
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah membebaskan dari qadha'
puasa bagi orang yang makan atau minum karena lupa, dan bahwasanya Allahlah yang
memberinya makan dan minum.
Dan dalam riwayat shahih disebutkan bahwa beliau bersiwak dalam keadaan puasa. Imam
Ahmad meriwayatkan bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuangkan air
di atas kepalanya dalam keadaan puasa. Beliau juga melakukan istinsyaq (menghirup air ke
dalam hidung) serta berkumur dalam keadaan puasa. Tetapi beliau melarang orang
berpuasa melakukan istinsyaq secara berlebihan. (Lihat kitab Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khairil
'Ibaad, I/320-338 )
Sabtu, 14 Agustus 2010
KADAR TILAWAH QUR'AN YANG DISUNATKAN
Disunatkan mengkhatamkan Al-Qur'an setiap minggu, dengan setiap hari' membaca
sepertujuh dari Al-Qur'an dengan melihat mushaf, karena melihat mushaf merupakan
ibadah. Juga mengkhatamkannya kurang dari seminggu pada waktu-waktu yang mulia dan
di tempat-tempat yang mulia, seperti: Ramadhan, Dua Tanah Suci dan sepuluh hari Dzul
Hijjah karena memanfaatkan waktu dan tempat. Jika membaca Al-Qur'an khatam dalam
setiap tiga hari pun baik, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada
Abdullah bin Amr :
"Bacalah Al-Qur'an itu dalam setiap tiga hari "( Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu
Katsir, him. 169-172 dan Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)
Dan makruh menunda khatam Al-Qur'an lebih dari empat puluh hari, bila hal tersebut
dikhawatirkan membuatnya lupa. Imam Ahmad berkata : "Betapa berat beban Al-Qur'an itu
bagi orang yang menghafalnya kemudian melupakannya."
Dilarang bagi yang berhadats kecil maupun besar menyentuh mushaf, dasarnya firman
Allah Ta 'ala :
"Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. "(Al-Waqi'ah: 79).
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam :
"Tidak dibenarkan menyentuh Al-Qur'an ini kecuali orang yang suci. " (HR. Malik dalam Al-
Muwaththa,Ad-Daruquthni dan lainnya)" (Hai ini diperkuat hadits Hakim bin Hizam yang
lafazhnya: "Jangan menyentuh Al-qur'an kecuali jika kamu suci." (HR. Ath-Thabrani dan Al-
Hakim dengan menyatakannya shahih).
sepertujuh dari Al-Qur'an dengan melihat mushaf, karena melihat mushaf merupakan
ibadah. Juga mengkhatamkannya kurang dari seminggu pada waktu-waktu yang mulia dan
di tempat-tempat yang mulia, seperti: Ramadhan, Dua Tanah Suci dan sepuluh hari Dzul
Hijjah karena memanfaatkan waktu dan tempat. Jika membaca Al-Qur'an khatam dalam
setiap tiga hari pun baik, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada
Abdullah bin Amr :
"Bacalah Al-Qur'an itu dalam setiap tiga hari "( Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu
Katsir, him. 169-172 dan Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)
Dan makruh menunda khatam Al-Qur'an lebih dari empat puluh hari, bila hal tersebut
dikhawatirkan membuatnya lupa. Imam Ahmad berkata : "Betapa berat beban Al-Qur'an itu
bagi orang yang menghafalnya kemudian melupakannya."
Dilarang bagi yang berhadats kecil maupun besar menyentuh mushaf, dasarnya firman
Allah Ta 'ala :
"Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. "(Al-Waqi'ah: 79).
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam :
"Tidak dibenarkan menyentuh Al-Qur'an ini kecuali orang yang suci. " (HR. Malik dalam Al-
Muwaththa,Ad-Daruquthni dan lainnya)" (Hai ini diperkuat hadits Hakim bin Hizam yang
lafazhnya: "Jangan menyentuh Al-qur'an kecuali jika kamu suci." (HR. Ath-Thabrani dan Al-
Hakim dengan menyatakannya shahih).
MEMBACA AL-QUR'ANUL KARIM DI BULAN RAMADHAN DAN LAINNYA
Segala puji bagi Allah, yang telah menurunkan kepada hamba-Nya kitab Al-Qur'an sebagai
penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
muslim. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya
Muhammad, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
Adalah ditekankan bagi seorang muslim yang mengharap rahmat Allah dan takut akan
siksa-Nya untuk memperbanyak membaca Al-Qur'anul Karim pada bulan Ramadhan dan
buian-bulan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, mengharap ridha-Nya,
memperoleh keutamaan dan pahala-Nya. Karena Al-Qur'anul Karim adalah sebaik-baik
kitab, yang diturunkan kepada Rasul termulia, untuk umat terbaik yang pernah dilahirkan
kepada umat manusia; dengan syari'at yang paling utama, paling mudah, paling luhur dan
paling sempurna.
Al-Qur'an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami
makna, perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah
baginya di hadapan Tuhannya dan pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat.
Allah telah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isi
kandungannya tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akhirat, dengan firmanNya "
Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. "
(Thaha:123),
Janganlah seorang muslim memalingkan diri dari membaca kitab Allah, merenungkan dan
mengamalkan isi kandungannya. Allah telah mengancam orang-orang yang memalingkan
diri darinya dengan firman-Nya :
"Barangsiapa berpaling dari Al-Qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang
besar di hari Kiamat. " (Thaha : 100),
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. "
(Thaha: 124),
Di antara keutamaan Al-Qur'an :
1. Firman Allah Ta 'ala :
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. " (An-Nahl:
89),
2. Firman Allah Ta'ala .
.. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus. " (Al-Ma'idah: 15-16).
3. Firman Allah Ta 'ala :
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi ouang-orang yang beriman. " (Yunus: 57).
4. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa 'at bagi
pembacanya. " (HR. Muslim dari Abu Umamah).
5. Dari An-Nawwas bin Sam'an radhiallahu 'anhu, katanya : Aku mendengar Rasul
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Didatangkan pada hari KiamatAl-Qur'an dan para pembacanya yang mereka itu dahulu
mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan Ali Imran yang
membela pembaca kedua surat ini. " (HR, Muslim).
6. Dari Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu, katanya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya. " (HR.
Al-Bukhar)
7. Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, katanya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu
kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu
huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf. " (HR. At-Tirmidzi,
katanya: hadits hasan shahih).
8. Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda :
"Dikatakan kepada pembaca Al-Qur'an: "Bacalah, naiklah dan bacalah dengan pelan
sebagaimana yang telah kama lakukan di dunia, karena kedudukanmu adalah pada akhir
ayat yang kamu baca. "(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan mengatakan: hadits hasan
shahih).
9. Dari Aisyah radhiallahu 'anhu, katanya : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Orang yang membaca Al-Qur'an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia
lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan tergagap dan susah
membacanya baginya dua pahala. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah payahnya.
10. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Tidak boleh hasut kecuali dalam dua perkaua, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur'an
lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu
diinfakkannya pada waktu malam dan siang "(Hadits Muttafaq 'Alaih).
Yang dimaksud hasut di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain. (
Lihat kitab Riyadhus Shaalihiin, hlm. 467-469.
Maka bersungguh-sungguhlah -semoga Allah menunjuki Anda kepada jalan yang
diridhaiNya untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim dan membacanya dengan niat yang ikhlas
untuk Allah Ta'ala. Bersungguh-sungguhlah untuk mempelajari maknanya dan
mengamalkannya, agar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah bagi para ahli Al-Qur'an
berupa keutamaan yang besar, pahala yang banyak, derajat yang tinggi dan kenikmatan
yang abadi. Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dahulu jika mempelajari
sepuluh ayat dari Al-Qur'an, mereka tidak melaluinya tanpa mempelajari makna dan cara
pengamalannya.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa membaca Al-Qur'an yang berguna bagi pembacanya, yaitu
membaca disertai merenungkan dan memahami maknanya, perintah-perintahnya dan
larangan-larangannya. Jika ia menjumpai ayat yang memerintahkan sesuatu maka ia pun
mematuhi dan menjalankannya, atau menjumpai ayat yang melarang sesuatu maka iapun
meninggalkan dan menjauhinya. Jika ia menjumpai ayat rahmat, ia memohon dan
mengharap kepada Allah rahmat-Nya; atau menjumpai ayat adzab, ia berlindung kepada
Allah dan takut akan siksa-Nya. Al-Qur'an itu menjadi hujjah bagi orang yang merenungkan
dan mengamalkannya; sedangkan yang tidak mengamalkan dan memanfaatkannya maka
Al-Qur'an itu menjadi hujjah terhadap dirinya (mencelakainya).
Firman Allah Ta 'ala :
"lni adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran
mendapatkan pelajaran." (Shad: 29).
Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al-Qura'nul Karim, sebagaimana firman
Allah: "Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an ... "(Al-
Baqarah: 185).
Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu
dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al-
Qur'anul Karim.
Hal itu menunjukkan dianjurkannya mempelajari Al-Qur'an pada bulan Ramadhan dan
berkumpul untuk itu, juga membacakan Al-Qur'an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga
menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan.
Tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan
mempelajarinya di antara mereka, kecuali turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka
diliputi rahmat, dikerumuni para malaikat dan disebut-sebut oleh Allah kepada para
malaikat di hadapan-Nya. " (HR. Muslim).
Ada dua cara untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim:
1. Membaca ayat yang dibaca sahabat Anda.
2. Membaca ayat sesudahnya. Namun cara pertama lebih baik.
Dalam hadits Ibnu Abbas di atas disebutkan pula mudarasah antara Nabi dan Jibril terjadi
pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya banyak-banyak membaca Al-Qur'an di
bulan Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala
kesibukan, kembali terkumpulnya semangat dan bertemunya hati dan lisan untuk
merenungkan. Seperti dinyatakan dalam firman Allah :
"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu '), dan bacaan di
waktu itu lebih berkesan. "(Al-Muzzammil: 6).
Disunatkan membaca Al-Qur'an dalam kondisi sesempurna mungkin, yakni dengan bersuci,
menghadap kiblat, mencari waktu-waktu yang paling utama seperti malam, setelah
maghrib dan setelah fajar.
Boleh membaca sambil berdiri, duduk, tidur, berjalan dan menaiki kendaraan. Berdasarkan
firman Allah :
"(Yaitu) orang-orang yang dzikir kedada Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam
keadaan berbaring... "(A1'Imran: 191).
Sedangkan Al-Qur'anul Karim merupakan dzikir yang paling agung.
penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
muslim. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya
Muhammad, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
Adalah ditekankan bagi seorang muslim yang mengharap rahmat Allah dan takut akan
siksa-Nya untuk memperbanyak membaca Al-Qur'anul Karim pada bulan Ramadhan dan
buian-bulan lainnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, mengharap ridha-Nya,
memperoleh keutamaan dan pahala-Nya. Karena Al-Qur'anul Karim adalah sebaik-baik
kitab, yang diturunkan kepada Rasul termulia, untuk umat terbaik yang pernah dilahirkan
kepada umat manusia; dengan syari'at yang paling utama, paling mudah, paling luhur dan
paling sempurna.
Al-Qur'an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami
makna, perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah
baginya di hadapan Tuhannya dan pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat.
Allah telah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isi
kandungannya tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akhirat, dengan firmanNya "
Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. "
(Thaha:123),
Janganlah seorang muslim memalingkan diri dari membaca kitab Allah, merenungkan dan
mengamalkan isi kandungannya. Allah telah mengancam orang-orang yang memalingkan
diri darinya dengan firman-Nya :
"Barangsiapa berpaling dari Al-Qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang
besar di hari Kiamat. " (Thaha : 100),
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. "
(Thaha: 124),
Di antara keutamaan Al-Qur'an :
1. Firman Allah Ta 'ala :
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. " (An-Nahl:
89),
2. Firman Allah Ta'ala .
.. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus. " (Al-Ma'idah: 15-16).
3. Firman Allah Ta 'ala :
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat
bagi ouang-orang yang beriman. " (Yunus: 57).
4. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa 'at bagi
pembacanya. " (HR. Muslim dari Abu Umamah).
5. Dari An-Nawwas bin Sam'an radhiallahu 'anhu, katanya : Aku mendengar Rasul
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Didatangkan pada hari KiamatAl-Qur'an dan para pembacanya yang mereka itu dahulu
mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan Ali Imran yang
membela pembaca kedua surat ini. " (HR, Muslim).
6. Dari Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu, katanya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya. " (HR.
Al-Bukhar)
7. Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, katanya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu
kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu
huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf. " (HR. At-Tirmidzi,
katanya: hadits hasan shahih).
8. Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda :
"Dikatakan kepada pembaca Al-Qur'an: "Bacalah, naiklah dan bacalah dengan pelan
sebagaimana yang telah kama lakukan di dunia, karena kedudukanmu adalah pada akhir
ayat yang kamu baca. "(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan mengatakan: hadits hasan
shahih).
9. Dari Aisyah radhiallahu 'anhu, katanya : Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Orang yang membaca Al-Qur'an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia
lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan tergagap dan susah
membacanya baginya dua pahala. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah payahnya.
10. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Tidak boleh hasut kecuali dalam dua perkaua, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur'an
lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu
diinfakkannya pada waktu malam dan siang "(Hadits Muttafaq 'Alaih).
Yang dimaksud hasut di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain. (
Lihat kitab Riyadhus Shaalihiin, hlm. 467-469.
Maka bersungguh-sungguhlah -semoga Allah menunjuki Anda kepada jalan yang
diridhaiNya untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim dan membacanya dengan niat yang ikhlas
untuk Allah Ta'ala. Bersungguh-sungguhlah untuk mempelajari maknanya dan
mengamalkannya, agar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah bagi para ahli Al-Qur'an
berupa keutamaan yang besar, pahala yang banyak, derajat yang tinggi dan kenikmatan
yang abadi. Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dahulu jika mempelajari
sepuluh ayat dari Al-Qur'an, mereka tidak melaluinya tanpa mempelajari makna dan cara
pengamalannya.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa membaca Al-Qur'an yang berguna bagi pembacanya, yaitu
membaca disertai merenungkan dan memahami maknanya, perintah-perintahnya dan
larangan-larangannya. Jika ia menjumpai ayat yang memerintahkan sesuatu maka ia pun
mematuhi dan menjalankannya, atau menjumpai ayat yang melarang sesuatu maka iapun
meninggalkan dan menjauhinya. Jika ia menjumpai ayat rahmat, ia memohon dan
mengharap kepada Allah rahmat-Nya; atau menjumpai ayat adzab, ia berlindung kepada
Allah dan takut akan siksa-Nya. Al-Qur'an itu menjadi hujjah bagi orang yang merenungkan
dan mengamalkannya; sedangkan yang tidak mengamalkan dan memanfaatkannya maka
Al-Qur'an itu menjadi hujjah terhadap dirinya (mencelakainya).
Firman Allah Ta 'ala :
"lni adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran
mendapatkan pelajaran." (Shad: 29).
Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al-Qura'nul Karim, sebagaimana firman
Allah: "Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an ... "(Al-
Baqarah: 185).
Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu
dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al-
Qur'anul Karim.
Hal itu menunjukkan dianjurkannya mempelajari Al-Qur'an pada bulan Ramadhan dan
berkumpul untuk itu, juga membacakan Al-Qur'an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga
menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan.
Tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan
mempelajarinya di antara mereka, kecuali turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka
diliputi rahmat, dikerumuni para malaikat dan disebut-sebut oleh Allah kepada para
malaikat di hadapan-Nya. " (HR. Muslim).
Ada dua cara untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim:
1. Membaca ayat yang dibaca sahabat Anda.
2. Membaca ayat sesudahnya. Namun cara pertama lebih baik.
Dalam hadits Ibnu Abbas di atas disebutkan pula mudarasah antara Nabi dan Jibril terjadi
pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya banyak-banyak membaca Al-Qur'an di
bulan Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala
kesibukan, kembali terkumpulnya semangat dan bertemunya hati dan lisan untuk
merenungkan. Seperti dinyatakan dalam firman Allah :
"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu '), dan bacaan di
waktu itu lebih berkesan. "(Al-Muzzammil: 6).
Disunatkan membaca Al-Qur'an dalam kondisi sesempurna mungkin, yakni dengan bersuci,
menghadap kiblat, mencari waktu-waktu yang paling utama seperti malam, setelah
maghrib dan setelah fajar.
Boleh membaca sambil berdiri, duduk, tidur, berjalan dan menaiki kendaraan. Berdasarkan
firman Allah :
"(Yaitu) orang-orang yang dzikir kedada Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam
keadaan berbaring... "(A1'Imran: 191).
Sedangkan Al-Qur'anul Karim merupakan dzikir yang paling agung.
Langganan:
Komentar (Atom)




